4. worried.

38 30 53
                                    

Kampus Narel dan sekolah Lentera satu arah, cowok itu tadi pagi mengetuk pintu kamar Lentera dan menawarkan pergi bersama. Tidak biasanya Narel begini, pasti ada maunya pikir Lentera.

Biasanya Lentera pergi diantar mas Aaron atau juga beberapa hari ini nebeng Sakya karena mereka satu kompleks.

Kalau sedang baik, Narel akan berbicara lembut. Begitu juga dengan Lentera, dia menyesuaikan gimana Narel berbicara. Kalau lagi kambuh gilanya, Narel dan Lentera saling memaki satu sama lain atau bahkan saling memukul, menendang, menjambak dan lainnya hingga salah satu kalah.

"Gimana?" Lentera membuka suaranya lebih dulu, sedikit memajukan badannya untuk memutar radio. "Nah, ini enak lagunya," katanya ketika lagu Justin Bieber terputar.

"Gimana apanya? Yang jelas kalo ngomong."

Lentera menabok lengan Narel kencang sampai cowok itu memekik keras. "Itu, cewek lo. Beneran putus?"

"Yoi."

"Jomblo dong?" Ledeknya kembali menepuk lengan Narel. "Apa, sih, Len. Sakit!"

Lentera nyengir, mengusap-usap pelan lengan Narel. "Sori, sori, refleks."

"Ya kali orang ganteng kaya gue jomblo," jawab Narel tersenyum miring, dia mengusap-usap dagunya sok keren.

Lentera sontak memandang Narel dengan tatapan jijik. "Dih, pacar baru?"

"Yoi."

"Najis, playboy!"

Bukannya marah Narel malah tertawa keras.

Mobil yang dikendarai Narel berhenti di persimpangan jalan menuju sekolah Lentera karena tiba-tiba macet yang lumayan panjang. Di depan sana terlihat ricuh, klakson saling sahut-sahutan.

"Tumben macet, kenapa ya?" Lentera menurunkan kaca setengah, kepala melongok keluar.

"Kecelakaan kayanya," ucap Narel.

"Duh, anak jaman sekarang kalo bawa motor suka gak hati-hati."

Kini rasa penasarannya semakin besar, Lentera menurunkan kaca sepenuhnya. "Pak, maaf. Itu di depan kenapa ya?"

"Ada kecelakaan, Mbak. Kayanya satu sekolah sama Mbak, deh. Dengar-dengar anaknya lagi di bawa ke klinik terdekat. Lumayan parah lukanya."




















🏮






















Sejak mendengar penjelasan dari bapak-bapak di jalan tadi Lentera jadi tidak tenang. Siapa kira-kira orang itu?

Sampai di sekolah, Lentera langsung berlari ke kelas 12 IPA 3 memastikan teman-temannya aman. Yang paling dikhawatirin Lentera tentu saja Bima dan Sakya, karena dua orang itu kalau bawa motor kaya ngajak ke akhirat.

Oke, aman. Pijar sedang ke aula, Bima dan Sakya di kantin.

"Lentera."

"Ya?" Spontan Lentera menoleh. Tepukan Zea dipundaknya berhasil mengagetkannya. "Kenapa, Ze?"

Oh, Lentera juga mengabsen satu-persatu teman sekelasnya. Dia bahkan sampai spam di grup chat kelas menanyakan keberadaan yang lain.

"Ngelamun mulu, awas kesambet."

Lentera menggeser tasnya agar Zea bisa duduk di sebelahnya. Dia menepuk bangku sebelahnya yang kosong, bangku milik Ruby. Teman sebangku itu belum datang, Ruby bilang dia sedikit terlambat karena terjebak macet. "Duduk sini. Eh, Yaya mana?"

"Ke kelas sebelah, biasalah tebar pesona ke crush-nya," kata Zea datar. "Gue mau nanya-nanya nih sama lo, Len."

"Nanya apaan? Jangan susah-susah, gue bego."

FRIENDZONE [slow update]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang