"iya mbak, ntar lagi aku balik ke studio mas Mahen. Iya mbak." Disaat yang sama Ibas tiba di depan ruang rawat Acel dengan pesanan gadis itu. "mas Ibas, maaf saya boleh nitip mbak Acel dulu? Mbak Amel nyuruh saya balik ke studio dulu mas."
"eh? mbak Gina balik sama siapa? saya anterin aja ya."
"gak apa mas, saya naik ojol aja, biar cepat. Saya titip mbak Acel ya mas." Putusnya lalu masuk ke dalam ruang rawat dengan niat pamit kepada Acel, selang beberapa lama setelah Gina pamit barulah Ibas masuk kedalam ruangan itu, setelah ia menetralkan detak jantungnya yang berdebar hebat saat ia sadar kalau setelah ini hanya akan ada dirinya dan Acel diruangan itu.
"makan dulu yuk Cel." Tidak ada jawaban bahkan bantahan saat dengan perlahan pemuda itu menyuapi si pasien, suasana makan sangat tenang karena kedua insan itu sibuk dengan pikiran masing-masing terutama Acel yang saat ini seolah ditampilkan kenangannya bersama dengan pemuda yang duduk disampingnya itu, wajah itu, mata itu dan senyuman itu masih lekat dalam ingatannya hingga saat ini dan membuatnya ingin kembali ke masa lalu yang indah bersama dengan sosok itu.
"Cel?"
"hm?" suara pertama Acel sejak pertemuan mereka tempo hari menyapa pendengaran Ibas yang sudah sangat rindu dengan suara gadis itu. "apa kabar? Maksudku selama-,"
"baik." Potong gadis itu lalu perlahan memejamkan matanya menolak kontak mata atau perbincangan lebih panjang dengan pemuda itu.
"ah, I see..kamu istirahat aja, kalo ada apa-apa panggil aku." Ibas menarik diri dari hadapan gadis itu saat menyadari benteng yang dibangun oleh gadis itu dengan sikapnya, padahal ia tidak tahu diam-diam Acel merasa bersalah karena bersikap demikian pada Ibas namun lagi-lagi gengsinya yang bertindak demikian.
"eh selimutnya kurang tinggi." Acel masih bisa mendengar omongan Ibas dan merasakan pemuda itu perlahan menaikkan selimut hingga menutup tubuhnya dengan selimut rumah sakit.
"jangan sakit lagi ya Cel, aku sedih liatnya." Gumamnya, ingin sekali rasanya Acel bangun dan memeluk pemuda itu dan mengatakan betapa rindunya ia pada sosok itu, sosok yang selama masa kuliahnya selalu ada disisinya dalam dan sosok yang membuat dirinya merasa kosong selama ini.
Juna dan Rena datang saat hari mulai menjelang petang, keduanya datang dengan membawa koper berisikan beberapa baju gadis itu. Tadi Juna sempat menelpon Ibas untuk menanyakan kamar rawat Acel dan menanyakan apa yang dibutuhkan oleh mereka berdua. "makasih banyak ya mas, maaf jadi ngerpotin."
"gak apa kok Jun, nanti siapa yang nemenin Acel?" tanya Ibas saat ia dan Juna berjalan menuju parkiran rumah sakit. "nanti Gina kesini mas, sekali lagi makasih ya mas. Maaf kalo semisal jadi ngacauin rencana mas hari ini."
Ibas terkekeh sambil mengibaskan tangannya "gak kok santai aja. Udah kamu balik aja ke atas, aku bisa ke parkiran sendiri." Tiba-tiba tangan kanan Juna menyentuh pundak Ibas dan menepuknya pelan. "kalo kakak masih canggung, maju aja mas. I'm on your side mas. Makasih banyak ya." Lelaki itu pamit dari hadapan Ibas meninggalkan dirinya dengan penuh tanda tanya di benaknya.
"kakak juga gak tau kenapa bisa ketemu dia hari itu Ren, padahal kakak udah lari sejauh mungkin dari dia." Bukannya menguping tapi Juna dapat mendengar perkataan sang kakak pada istinya saat ia hendak membuka pintu ruangan itu. "sampe kapan kakak mau gini terus? Kakak gak kasian sama diri kakak?" tanya Rena dengan lembut, Acel jelas tidak bisa menjawab pertanyaan sang adik ipar, ia hanya tertunduk sambil memainkan jemarinya.
"Juna?" sapa Amel yang datang bersama dengan sang suami yang membawa beberapa kantung yang entah isinya apa.
"mbak Amel, mas Awan. Masuk mbak, mas. Kakak lagi didalem sama Rena." Ajak Juna.
"lho mas Ibas kemana?" pertanyaan pertama yang dilontarkan Amel saat masuk keruangan rawat Acel adalah sosok pemuda yang membawa temannya itu tadi pagi.
"mas Ibas udah pulang mbak, kasian juga kalo kelamaan disini." Jawab Rena.
"lagian gak enak juga ganggu agenda mas Ibas, sapa tau dia mau jalan sama pacarnya gitu." Ceplos Juna.
"sembarangan, kata mas Mahen dia tuh jomblo akut, tapi mbak ya gak percaya juga sih kalo dia itu jomblo, ganteng gitu, ya gak Cel?"
"ha? Eum, gak tau sih. Gimana tadi? Aman kan?" Amel mau tidak mau mencubit lengan Acel hingga gadis itu mengeluh kesakitan.
"bun jangan gitu sama orang sakit." Tegur sang suami. "biar! Ini anak juga dibilangin batu juga sih, udah dibilang gak usah dateng ya gak usah dateng! Eh iya Nina sama Adis udah gue kabarin, mungkin besok pulang kantor baru mereka kesini. Gina lagi siap-siap mau kesini."
"hmm makasih ya Mel, sorry gue jadi bikin repot."
"sekali lagi ngomong gitu gue gampar mulut lu Cel, udah makan belom lu?"
Ibas tidak bisa tenang malam ini, ia masih memikirkan ucapan Juna tadi dan keadaan Acel dirumah sakit, saking penuhnya ia bahkan tidak ingat kalau Mahen akan datang untuk mengantarkan kameranya yang tidak jadi ia gunakan tadi.
"lu belom tua udah pikun ye! Untung gak lupa hape dimana lu, kalo lupa brabe urusan." Pemuda tinggi itu masuk dengan omelan pertamanya sedangkan si tuan rumah hanya tersenyum kikuk sambil menerima tas berharganya dan menyusul tamu yang sudah dengan santainya berbaring di sofa ruang santai apartemen pemuda itu. "sorry gue lupa banget lu mau dateng heheh."
"tawa lagi lu, eh iya gimana mbak Acel?"
"dirawat akhirnya, dia kecapekan terus gastritis dia kambuh lagi. Mungkin dia stress belakangan ini." jawab Ibas sambil menaruh dua kaleng soda dan setoples cemilan diatas meja. "kayaknya lu sama mbak Acel tuh deket banget ya dulu?"
"ka-kata siapa? Gak juga kok, kita cuman sering sekelas aja." elak Ibas. Mahen membuka kaleng soda miliknya lalu menggeleng keras mendengar respon pemuda berlesung itu. "gak percaya gue, kata mas Juna kalian deket banget pas kuliah, mbak Acel sering cerita soal lu ke mas Juna."
Sial! Ibas melupakan kalau Juna seharian ini menemani sang istri dan rekan kerja Acel di studio tadi, mungkin mereka sempat berbincang soal kedekatan mereka berdua dulu. "gak bisa ngelak kan lu! Ehlah tenang bro mbak Acel bukan tipe gue, doi cantik iya emang cantik tapi gue lebih suka Gina sih manis-manis jutek gitu auranya," jelas Mahen ada perasaan lega saat mengetahui saingannya berkurang satu untuk saat ini, senyuman pemuda itu menjadi semakin lebar, dan berakhir ia mentraktir makan malam temannya itu dan yang ia dengar hanyalah ledekan dari Mahen yang tiada henti malam itu.
Sementara diruang rawat Acel, gadis itu tidak bisa memejamkan matanya mungkin karena bukan di kamar pribadinya sehingga ia merasa asing dengan suasana kamar rumah sakit itu, di kasur lainnya Gina sudah terlelap lebih dulu, Juna dan Rena sudah kembali karena mereka menitipkan Naya pada teman kerja Juna yang kebetulan tetangga mereka sehingga tidak etis bagi keduanya untuk menitipkan putri mereka lama-lama disana, tapi tadi mereka sempat membawakan beberapa barang penting milik Acel dari apartemennya. Diambilnya sebuah buku catatan yang Acel miliki sejak kuliah, Juna hafal kakaknya itu selalu menuliskan berbagai hal di buku itu. Dibukanya perlahan buku itu, ia tersenyum membaca tulisan tangannya sendiri, mulai dari tulisan soal dosen yang menyebalkan, senior yang banyak gaya, hingga sampai dihalaman dimana ada dua buah tiket bioskop yang hampir memudar tulisannya disana.
===