Radit melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Ia baru saja keluar dari kompleks perumahan elit kediaman pamannya, Pramudya. Setelah mengantarkan Viona beserta kue-kue buatannya, Radit segera undur diri. Masih ada tempat lain yang ingin ia datangi, yakni bengkel Naufan.
"Jika tahu akan seperti ini jadinya, aku tidak akan pernah mengizinkan Kevin untuk kuliah di Amerika. Namun, apa hendak dikata, nasi sudah menjadi bubur. Sungguh, aku tak menyangka ini semua akan terjadi pada putraku," sesal Pramudya yang sempat terekam oleh Radit, kini kembali terngiang-ngiang dalam benaknya.
Ya, dari cerita pamannya, sedikitnya Radit mendapat gambaran apa yang telah terjadi pada sepupunya, Kevin. Namun, Radit tak berani bertanya lebih jauh untuk mengetahui informasi yang lebih jelas. Biar nanti fakta yang tersaji depan mata yang menjawab, pikirnya. Rencananya, Pramudya akan menjemput putranya itu esok hari. Setelah semua kondusif, Kevin akan melanjutkan kuliah di kampus yang sama dengan Radit.
"Om nanti titip Kevin sama kamu, Dit. Selama di kampus, tolong awasi dan bantu dia menjadi pribadi yang lebih baik. Om percaya sama kamu," ujar Pramudya sembari menepuk-nepuk bahu Radit.
Seulas senyum tersungging dari bibir Radit ketika kembali teringat kata-kata itu. Takkan hilang dari ingatannya, bagaimana dulu ia seolah dianggap noda oleh keluarga besar Pertiwi karena kebadungannya. Sebaliknya, Kevin senantiasa disanjung-sanjung dan tak jarang sengaja dibanding-bandingkan dengannya.
"Dasar anak tak berguna! Kerjaanmu cuma keluyuran dan bikin masalah. Mau jadi apa kamu nanti, hah?! Coba kamu lihat Kevin, sepupumu. Ia lulus dengan nilai yang baik dan diterima di universitas bergengsi di Amerika sana. Tidakkah kamu ingin seperti dia?! Kamu ...."
"Cukup! Jangan pernah banding-bandingkan aku dengan siapapun! Atau aku akan lebih buruk dari ini!"
Radit kembali terkenang masa lalunya, di mana predikat bad boy masih melekat erat pada dirinya. Ia pejamkan matanya sejenak, sembari menelan salivanya, membuat jakunnya bergerak perlahan. Masih tergambar jelas bagaimana raut kekecewaan ayahnya saat itu.
Kini, keadaan seolah berbalik 180 derajat. Radit telah memberi bukti kepada keluarganya bahwa ia telah berubah, meski sebenarnya masih harus terus berproses untuk bisa berhijrah kaffah. Di sisi lain, justru kini Kevin yang tengah bermasalah.
Tak terasa, Radit telah sampai di bengkel Naufan. Bengkel itu tidak terlalu besar, namun cukup lengkap. Di tahun kedua bengkel tersebut berdiri, Naufan telah mempekerjakan 3 orang karyawan, yaitu Khalis, Faisal, dan Reza. Khalis dan Faisal adalah rekan kajian Naufan, keduanya bekerja sama dengan Naufan sejak awal bengkel dirintis. Sementara Reza--adik tingkat Naufan, baru bergabung 1 tahun belakangan ini. Ketiga orang itu tampak sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Demikian pula Naufan. Meski ia adalah owner, ia tak ingin berpangku tangan.
Radit beranjak turun dari mobil sportnya, lalu berjalan memasuki kawasan bengkel dengan menenteng sebuah bungkusan. Langsung saja ia menghampiri Naufan.
"Assalamu'alaikum ...," sapa Radit.
"Wa'alaikumussalam ...," sahut mereka yang berada di bengkel.
Khalis dan Faisal melambaikan tangannya yang langsung dibalas oleh Radit dengan hal serupa. Ketiganya memang sudah saling kenal, karena pernah beberapa kali bertemu dalam agenda kajian. Sementara Reza hanya mendongakkan wajahnya, sekadar ingin tahu siapa yang baru saja datang. Seketika raut wajahnya berubah ketika melihat Radit.
"Hai, Dit. Tumben kemari. Ada apa?" sambut Naufan setelah sebelumnya mencuci tangannya terlebih dahulu. Keduanya kini duduk bersama di sebuah bangku kayu.
"Ferrari lo perlu service, kah, Bro?" goda Faisal.
"Eits, sembarangan! Mobil kinclong begitu mana butuh service," seloroh Khalis sembari mengerling ke arah mobil sport yang dibawa Radit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Muhasabah Putih Abu 2
Ficção AdolescenteSepasang remaja berusaha istiqomah dalam hijrah di tengah bayang-bayang kelam masa lalu