Pagi itu terasa hangat. Mentari dhuha bersinar dengan cerah. Meski tak segagah raja siang, namun pancaran cahayanya mampu menerangi semesta, sehingga jejak hujan deras tadi malam seolah tak lagi tersisa.
Belum lama gadis itu berdiri di depan sebuah rumah nan megah. Ini bukanlah kedatangannya yang pertama kali ke rumah tersebut. Sebab alasan yang sama dengan kedatangan sebelum-sebelumnya, yakni atas undangan seseorang, ia akhirnya kembali berkunjung setelah sekian lama.
Setelah memencet bel, gadis tersebut membalikkan badannya membelakangi pintu. Terdengar seruan dari penghuni rumah, lalu disusul suara derap langkah mendekat.
"Assalamu'alaikum, Tante. Apa kabar?" sapa gadis tersebut kepada sosok wanita yang membukakan pintu. Wanita 40 tahun itu tampak bersahaja dengan busana rumahnya yang elegan.
"Wa'alaikumussalam. Eh, Nadia. Mari masuk," balas Viona, mantan wanita karier yang kini memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga.
Setelah menyalami Viona, Nadia pun digiring menuju ruang tengah. Sikap Viona yang ramah setidaknya mengurangi kekikukan gadis berhijab syar'i dengan nuansa violet itu.
"Kemana aja? Kok baru ke sini lagi?" ujar Viona.
"Ada aja, Tante, di rumah. Tante gimana sehat?" ucap Nadia balik bertanya.
"Alhamdulillah, Tante sehat. Ya, seperti yang kamu lihat," balas Viona yang kemudian mempersilakan Nadia duduk di sebuah sofa bergaya klasik. Ia sengaja mengajak Nadia ke ruang tengah, bukan ke ruang tamu, agar lebih santai.
"Tunggu sebentar, ya. Tante panggilkan Rania dulu."
"Kakak cantiiik!"
Belum sempat Viona beranjak, seorang gadis 14 tahun datang dengan melajukan sendiri kursi rodanya. Ia bergegas menghampiri Nadia dengan binar ceria di wajahnya yang berbalut kerudung pink.
Nadia berdiri menyongsong kedatangan gadis tersebut ke dalam rengkuhannya.
"Rania kangeeen banget sama kakak cantik," ujar gadis di atas kursi roda itu musih dalam posisi memeluk pinggang Nadia.
"Kakak juga kangen sama Rania," balas Nadia.
Viona yang masih belum beranjak dari tempatnya, tersenyum haru melihat pemandangan yang kini tersaji di hadapannya. Dalam hati ia berkata, 'Nadia, rasanya Tante harus belajar padamu bagaimana agar Rania bisa selekat itu kepada ibunya.'
Tak lama setelah Viona pamit untuk kembali ke belakang sebab memang sedang ada sesuatu yang dikerjakannya, datanglah si Mbok membawakan minuman dan makanan ringan yang segera ia suguhkan ke hadapan Nadia dan Rania.
"Terima kasih, Mbok," ujar Nadia dan Rania bersamaan.
"Sami-sami, Cah Ayu," balas si Mbok yang kemudian kembali berlalu.
"Makasih, lho, Kak, udah bersedia datang ke mari. Mestinya Rania yang ke rumah kakak, orang Rania yang butuh bertemu sama kakak," ungkap Rania.
"Nggak apa-apa, Ran. Lagian, Kakak lagi nggak sibuk," tanggap Nadia yang kemudian menyesap es teh lemon yang tersaji di hadapannya setelah Rania mempersilakan.
"Iya. Tapi Rania jadi nggak enak udah ngerepotin kakak. Hmmm... Ini semua gara-gara Kak Radit. Coba kalau dia nggak tidur lagi abis shubuh, pasti sekarang nggak bangun kesiangan dan bisa nganter Rania ke rumah kakak. Sebel, deh! Kalau weekend, pasti deh dia tidur sampai siang," ujar Rania mengeluhkan kakaknya semata wayang itu. Nadia tersenyum geli dibuatnya.
Hari itu hari Sabtu. Nadia dan Rania sama-sama tidak memiliki agenda. Nadia sedang libur kuliah, sementara Rania pun tak ada jadwal homeschooling. Karenanya, mereka janjian untuk bertemu setelah sekian lama tak berjumpa. Keduanya bermaksud untuk memulai kembali jadwal belajar mengaji yang sempat terhenti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Muhasabah Putih Abu 2
Fiksi RemajaSepasang remaja berusaha istiqomah dalam hijrah di tengah bayang-bayang kelam masa lalu