Part 4: Merindukan Pertemuan

23 4 3
                                    

Nadia memarkirkan motor maticnya di parkiran SMU Pertiwi. Kondisi sekolah tampak lengang saat itu. Para siswa masih mengikuti pembelajaran di dalam kelas. Nadia memang sengaja datang 30 menit lebih awal dari jadwal keputrian. Ia bermaksud menemui Bu Arini--salah seorang guru yang pernah menjadi wali kelasnya selama menempuh pendidikan di SMU Pertiwi, yang juga merupakan pembina keputrian di almamaternya tersebut. Ia ingin meminta maaf atas keterlambatannya memenuhi permintaan beliau untuk mengisi keputrian.

Nadia berjalan menyusuri pelataran sekolah menuju ruang guru di mana Bu Arini berada. Sekelebat kenangan masa putih abu seketika kembali membayang di sepanjang langkahnya. Bayangan dirinya dalam balutan seragam syar'i putih abu tampak berjalan beriringan sembari saling berpegangan tangan dengan seorang gadis berbusana serupa. Seolah kedua sosok itu benar-benar nyata berada di depan matanya. Begitu pun ketika langkahnya tiba di sekitar lapangan basket. Ia seolah melihat bayangan dirinya dengan busana olahraga syar'i tengah beraksi di tengah lapangan. Sementara di salah satu sisi lapangan itu, ia melihat sesosok gadis dengan paras cleopatranya yang anggun tampak tersenyum menyemangati seraya berseru kepadanya; "Nadia, semangat!" Pun ketika ia tiba di depan ruang guru, ia melihat bayangan dirinya tengah berangkulan dengan sang sahabat sejati, sebagai ekspresi kebahagiaan karena telah berhasil melewati ujian saat seragam syar'i mereka dipermasalahkan.

"Astaghfirullah," lirih Nadia melafadzkan istighfar. Kedua netranya terpejam sesaat, berusaha menepis berbagai kenangan masa silam yang kembali membayang di pelupuk mata. Tak lupa ia panjatkan do'a untuk sang sahabat sejati, berharap kelak bisa berjumpa kembali di kehidupan yang abadi.

"Assalamu'alaikum," ucap Nadia begitu tiba di depan pintu ruang guru.

Ruang guru tampak lengang, para guru masih mengajar di kelas. Hanya ada beberapa guru saja di dalamnya yang segera mendapat anggukan kepala dari Nadia ketika mereka menoleh ke arah pintu.

"Wa'alaikumussalam," balas seorang guru berbusana syar'i. Baju dinasnya yang didesain dalam bentuk gamis tampak elegan berpadu dengan kerudung lebar berwarna putih yang dikenakannya.

Dialah Bu Arini, sosok yang memang ingin Nadia temui. Keduanya memang telah membuat janji sebelumnya untuk saling bertemu.

"Maa syaa Allah, Nadia. Masuk, Nak!" seru Bu Arini dengan ramah.

Nadia bergegas memasuki ruangan tersebut dengan merendahkan tubuhnya, lalu duduk di kursi yang dipersilakan Bu Arini dan menyalami wanita berusia 36 tahun itu. Sekilas ia mengedarkan pandangan ke sekitar dan memberikan tabik kepada setiap guru yang berada dalam ruangan tersebut.

"Mohon maaf, Bu, permintaan Ibu baru sempat akan saya penuhi hari ini," ucap Nadia setelah sebelumnya terlibat obrolan ringan namun hangat dengan gurunya tersebut.

"Tak apa, Nak. Ibu paham, sebagai mahasiswi baru, tentunya jadwalmu sangat padat. Mohon maaf jika permintaan Ibu akhirnya malah mengusik kesibukanmu di kampus. Sungguh, Ibu tidak bermaksud demikian. Permintaan ini semata-mata berangkat dari harapan akan adanya sosok pembimbing kajian Islam bagi para sisiwi SMU Pertiwi dalam agenda keputrian. Ibu tak tahu kepada siapa harus meminta tolong akan hal itu, selain kepadamu, Nak. Ya, andai Zahara ... astaghfirullah. Tak semestinya Ibu mengandai-andai. Mohon maaf, ya, Nak," terang Bu Arini panjang lebar.

Mendengar nama Zahara, seketika getar kehilangan di hati Nadia yang kembali menguat. Namun, ia berusaha untuk tetap bersikap normal.

"Maa syaa Allah, Bu, tak perlu meminta maaf. Alhamdulillah, untuk hari Jum'at jadwal kuliah saya tidak terlalu full. Hanya pagi jam 8 sampai jam 10. Nanti baru ada mata kuliah lagi jam 13.00 siang. Jadi, insyaa Allah saya bisa mengikuti agenda keputrian bersama adik-adik. Hanya saja .... " Nadia menggantung ucapannya.

Muhasabah Putih Abu 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang