Part 2: Hijrah Lo Buat Siapa?

47 7 22
                                    

"Kok bengong?" tanya Naufan kepada Nadia yang belum juga beranjak dan malah menyandarkan tubuhnya di atas kap mobil.

Nadia tak menyahut. Netranya tertuju ke lain arah, tak pedulikan raut wajah keheranan sang kakak di hadapannya. Tatapannya kosong, menambah sempurna kesan murung di wajah cantiknya.

"Semangat, dong! Masa hari pertama jadi mahasiswi udah loyo?! Mana Nadia adik gue yang ceria itu?" ujar Naufan menyemangati. Namun, rupanya tak sedikit pun berpengaruh bagi Nadia.

Sejak dari rumah, Nadia memang terlihat kurang semangat. Karena itulah Naufan berinisiatif untuk mengantarnya ke kampus. Bisa berabe jika ia biarkan adik semata wayangnya itu mengendarai motor seorang diri dalam kondisi demikian.

"Gue ... gue cuma lagi kangen banget sama dia," lirih Nadia dengan netra yang mulai berkaca-kaca.

"Ya, gue ngerti betapa spesialnya dia buat lo, sampai-sampai meski udah 1 tahun berlalu, lo masih belum bisa move on," tanggap Naufan. Lelaki jangkung berusia 23 tahun itu kini turut bersandar di atas kap mobil mereka.

"Tapi, lo harus bisa ikhlas, Nad. Biar dia juga tenang di sana," sambung Naufan.

"Gue ikhlas, kok. Gue cuma butuh waktu lebih lama buat bisa mengikis rasa kehilangan ini," ucap Nadia. Wajahnya tampak mendung dalam balutan kerudungnya yang berwarna cerah.

"Bagaimanapun, dia yang udah bawa gue ke jalan ini. Jalan hijrah," tuturnya kemudian.

"Ya, dia yang udah bawa lo ke jalan hijrah ini. So, cara terbaik untuk mengenangnya adalah dengan tetap survive di jalan ini. Jangan sampai rasa kehilangan itu akhirnya menarik eksistensi lo di jalan ini, " ujar Naufan menutur nasihat.

Sejenak Nadia menundukkan wajahnya. Ya, rasa kehilangan itu memang sempat mengikis semangatnya, menyusutkan ghirahnya. Bagaimana tidak? Ia yang dengannya terbiasa bersama, kini harus terpisah untuk selamanya.

"Lo harus bisa move on, sebangkit-bangkitnya. Sedih dan kehilangan itu wajar, tapi lo harus selalu ingat bahwa umat membutuhkan lo. Ini ujian juga buat lo, agar lo bisa buktiin bahwa hijrah lo memang semata karena Allah dan hanya untuk-Nya, bukan sebab manusia dengan segala keterbatasannya," ucap Naufan seraya merangkul adiknya.

"Ya, lo benar, Kak," lirih Nadia masih dalam tunduknya. Ia menyadari selama ini telah abai dan tersibukkan oleh perasaannya sendiri. Bahkan, sudah sekian lama ia tak memberi respons atas permintaan Bu Arini padanya untuk kembali melanjutkan mengisi acara keputrian setiap Jum'at siang di SMU Pertiwi, almamaternya. Ya, ia berjanji akan segera menyanggupinya. Sungguh, tiada alasan untuk menolak suatu kewajiban. Meskipun demikian, itu berarti ia harus kembali menyingkap berbagai kenangan manis dengannya yang masih tertinggal di sana, yang tentunya akan kembali membuka lara.

Masih di area parkir, agak jauh dari arah mereka, seorang pemuda masih tertegun memperhatikan. Sejak tadi ia tak beranjak dari tempatnya. Tatapannya tak lepas dari sepasang kakak beradik itu.

Pemuda itu tiada lain adalah Radit.

Ya, seandainya ia tak tahu bahwa kedua insan yang tengah bersandar di atas kap mobil itu adalah sepasang kakak beradik, tentu akan bergolaklah hatinya. Sebagaimana yang terjadi sekitar dua tahun lalu dalam sebuah momentum kajian, di mana untuk pertama kalinya ia bertemu dengan Naufan.

Flashback On. Di halaman sebuah masjid.

"Sial!" Radit mengekspresikan gejolak emosinya dengan menendang salah satu ban mobilnya. Saat itu, ia tengah diliputi suatu kekesalan. Lagi-lagi kawan-kawan ganknya menghubungi dan melontarkan berbagai paksaan dan ancaman, padahal ia memang sengaja mulai merentang jarak dengan mereka atas permintaan sang adik.

Muhasabah Putih Abu 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang