"Saya selalu ingat pesan bunda. Sekejam apapun ibu, saya tidak boleh membencinya. Karena Ibu lah alasan Hilal ada di bumi dan bisa beribadah. Tapi saya tetap saja sakit, Bunda."
🌜🌧️
"Ini ... Tempat apa, Hilal?" Tanya anak itu saat melihat sebuah papan bertuliskan Panti Singgah Amanah.
Hilal tersenyum, namun ia tak menjawab. Perlahan ia tarik tangan Oding untuk masuk. Suasana tempat ini jauh berbeda dari terakhir Hilal kemari. Lihatlah, bagaimana ornamen kaligrafi klasik itu semakin banyak terpampang di tiap sisi tembok. Foto keluarga sederhana dari tiap tahun ke tahun terjajar rapi di meja yang terletak di sisi lain ruang tunggu ini, dan satu lagi, yakni banyaknya piala dan medali yang sengaja diletakkan di sebuah lemari kaca sudut ruangan. Nampaknya, semakin tahun anak-anak itu tumbuh baik dan menjadi generasi hafidz Quran yang akan mewarnai abu-abunya panti ini dulu.
"Hilal, itu kamu?"
Hilal berbalik, melihat siapa yang ada di sana. Perempuan bergamis putih dengan kerudung merah muda yang sangat ia kagumi itu. Beliau semakin anggun dan cantik.
"Bunda!"
Ia berlari, memeluk sosok perempuan yang tidak lebih tinggi darinya. Keduanya sama-sama memaparkan senyuman yang sama-sama manis dan hangat. Hanya saja, bedanya di sini senyuman Hilal memiliki cekung di pipinya, hal itu mampu membuatnya nampak lebih manis.
"Lama kamu nggak ke sini."
"Maaf, Bunda. Saya ... sibuk ... "
"Sibuk kuliah, ya?" Bunda melepas pelukan itu. Bertanya sembari menatap lekat mata pria dewasa itu. Menelusuri setiap sudut wajahnya. Mulai dari rambut hitamnya yang sekarang sedikit memanjang serta pipinya yang kini mulai nampak sedikit terisi. Sungguh, nyonya Lessa mengurus Hilal dengan sangat baik ia rasa.
"I ... iya, Bunda."
Hilal nampak gelagapan. Ia berfikir untuk membicarakan sebuah topik. Tapi entah kenapa, rasanya seperti canggung. Jika saja ia tak melihat Oding berjalan menyusuri laci yang menampakkan jejeran piala itu, mungkin saja tidak ada topik baru darinya dan Bunda.
"Ah ... bunda, ini Oding," haturnya menarik tangan anak kecil tersebut. "Hilal bertemu dengannya tadi. Dia menunggu ibunya di tepi jalan. Itu bahkan sudah berlaku selama satu minggu." Ia melanjutkan penuturannya.
"Jadi?" tanya Bunda yang tadi melirik ke arah Oding sekilas.
"Boleh Oding di sini? Sampai orang tuanya kembali?"
Itu pun jika benar ia kembali.
Seseorang yang dipanggil bunda itu mendekati Oding. Masih dengan senyum manis bidadari surganya yang belum luntur. Bahkan takkan pernah luntur dimakan waktu yang makin menua.
Perempuan itu duduk untuk menyepadankan tingginya dengan Oding.
Oding nampak sedikit takut. Entah ragu atau memang pemalu terhadap seseorang yang baru. Namun ia nampak benar-benar seperti anak ayam baru lahir yang selalu berada di belakang induknya. Tangan Hilal terulur untuk mengelus kepala bulat milik Oding. Perlahan mendorongnya untuk berani berbicara pada bunda-pengurus panti tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret at Night
Teen FictionTentang bulan sabit yang selalu bersinar di balik awan. Tentang hujan dan awan yang tak sempurna tanpa bulannya. Tentang, bulan sabit, awan, dan hujan yang hidup dengan kisah lain dari lukanya masing-masing.