Tentang bulan sabit yang selalu bersinar di balik awan.
Tentang hujan dan awan yang tak sempurna tanpa bulannya.
Tentang, bulan sabit, awan, dan hujan yang hidup dengan kisah lain dari lukanya masing-masing.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Kamu cuman takut kehilangan kesempatan olimpiade atau ... Lagi menghindar dari temen-temen kamu?"
🌜🌧️
"Mang, mie ayamnya satu. Sama minumnya kayak biasa. Paham kan?"
"Siap, mie ayam satu sama teh panas tawar ya, Neng. Boleh ditunggu."
Perempuan berjaket biru itu menunduk dan langsung menuju tempat duduk yang biasa ia tempati. Tempat itu berada di sudut ruangan. Di mana ia bisa sedikit mendapatkan ketenangan sendiri. Iya, ketenangan sebelum dua anak SMA yang satu kelasnya datang dan duduk di bangku sebelahnya. Memang masih menyisakan jarak satu meter, tapi tetap saja dia tidak suka.
Meskipun begitu, perempuan itu mencoba untuk terlihat tak terganggu dengan kedatangan dua perempuan yang bisa ia anggap pengganggu ketenangan tersebut. Ia hanya ingin malam ini ia bisa makan tenang setelah menghabiskan satu modul fisika. Namun. pikirannya tak bisa tenang kala dua anak perempuan itu tengah membicarakannya.
"Itu Varsha kan? Dia menang olimpiade lagi ya?"
"Lo udah lihat kan piala yang dipajang di etalase lobi sekolah?"
"Gila sih, gue yang dikasih soal fisika lima aja pusingnya minta ampun, lah dia udah ikut olimpiade saintek dari kelas 10 dapet juara terus."
"Percuma dapet juara kalau sosialnya bermasalah."
Untuk beberapa saat gadis yang dipanggil Varsha itu berusaha menahan amarah dengan menetralkan pernafasannya. Hingga saat pesanannya yang tadi datang telah dihidangkan di meja, tangannya mengambil semangkuk kecil sambal pedas yang letaknya tak seberapa jauh. Namun, siapa sangka, bukannya menuangkan sambal itu ke mangkuk mie ayamnya, dia justru menyiram semangkuk penuh sambal itu ke rok milik siswi SMA satu kelasnya tersebut.
Gadis yang disiram berdiri, mulutnya terbuka lebar mendapati roknya yang kini dipenuhi noda sambal. Tentu bukan hanya itu yang tidak ia suka, ia memikirkan risiko pahanya yang akan terasa panas karena sambal setelah ini.
Belum selesai dengan pergerakannya, teh panas yang tadi dipesan juga ikut di siramkan ke seragam siswi SMA tersebut. Kondisi tempat makan yang semula hening karena semua orang sibuk dengan makanannya kini menjadi ramai. Seolah-olah gadis yang tadi disiram merupakan tontonan bagi mereka.
"Mie ayamnya buang aja, Mang."
🌜🌧️
"Varsha pulang!" Teriak gadis itu terlewat kencang.
Mamanya berlari, melihat anak gadisnya kini tengah berdiri di depan pintu dengan wajah yang sangat datar, lebih dari biasanya.
"Kamu kenapa?"
"Gapapa." Begitu saja ia melepas sepatunya dan berjalan ke arah kamarnya. Namun sebelum memasuki kamar, ia berbalik menghadap wanita yang melahirkannya. "Susu sapi masih ada kan, Ma?"
"Ada. Kenapa?"
"Minta tolong siapin ya, Ma. Varsha mau dinginin otak."
Melihat sang anak yang datang dengan wajah yang kelewat datar dan intonasi suara yang melebihi hari-hari biasanya. Sang perempuan ada yang salah dari anaknya. Tapi apa? Apa ini tentang hal yang sama lagi.
Ibunya menghela nafas panjang. Mengingat, sekalipun masalah itu soal pertemanan, sang anak juga tidak akan pernah menerima jika disarankan untuk mencari sebuah relasi pertemanan. Ia lebih memilih berteman dengan buku-bukuan dan boneka di kamarnya.
Bahkan pernah ibunya bertanya tentang teman saat ia hendak berangkat sekolah. Namun jawaban yang diutarakan sang anak selalu sama.
"Kamu sendirian? Sekali-kali kamu berangkat sama temen gitu loh, Sha."
Dan itu jawabannya, sebagai seorang pencinta hujan yang sering disebut sebagai Pluviophile, sangibu tidak pernah melarang Varsha untuk menghindar dari hujan. Lagi pula ia tidak pernah sakit saat bermain bersama hujan. Justru ia sakit saat ia tidak diperbolehkan bermain hujan oleh orang tuanya.
Selain itu, sang mama juga masih mencoba memahami bahwa luka milik anaknya belum sepenuhnya sembuh. Mengingat bagaimana masa-masanya menginjak bangku menengah pertama Varsha semakin menambah tekatnya dalam menjadi sempurna dan selalu nomor satu.
"Kamu punya masalah lagi ya?"
"Nggak. Udah ya, Ma. Varsha pusing."
🌜🌧️
Setiap hari hal yang selalu dilakukan Varsha adalah menetap di dalam kamarnya dan bergelut dengan buku-buku kumpulan soal. Bahkan saat ini yang tertera di depannya adalah berbagai macam buku dan kertas-kerta berisi rumus yang sedang ia cari jawabannya.
Hingga pintu terbuka, Varsha masih nampak tak acuh. Atensinya sepenuhnya terarah ke buku yang ada di hadapannya, memikirkan rumus-rumus bercabang tersebut. Sang ibu membuang nafasnya prihatin, ia seharusnya senang memang, mengingat bagaimana semangat belajar sang anak yang sangat antusias.
Ibunya masuk, memegang bahu sang putri yang membuat gadis usia 18 tahun tersebut sedikit terkejut. Ia menatap sang ibu dengan matanya yang melebar.
"Kenapa, Ma?"
"Kamu yakin gapapa? Ga ada yang mau diceritain ke mama?"
"Olimpiade bulan lalu, kimia sama fisika. Varsha dapet juara satu di dua olim itu."
Ibunya sudah menduga bahwa ia akan mendengar kabar putrinya memenangkan suatu ajang lomba dalam waktu dekat. Mengingat setiap dua bulan sekali sang anak selalu membawa kabar yang sama. Dan yang bisa ditebak selanjutnya adalah tentang reaksi temannya. Apa dugaan sang ibu benar?
"Dan kayak biasa, orang-orang iri itu selalu ngomongin Varsha. Kayaknya mereka beneran nggak ada kerjaan. Sebenernya Varsha ga masalah, tapi lama-lama kuping ini panas juga," jelasnya melanjutkan.
"Terus apa inisiatif kamu selanjutnya?" tanya sang ibu dengan tangannya yang menyisir halus rambut sang putri dengan tangan putihnya.
"Lupain aja, lagian mikirin orang lain ga penting. Yang penting Varsha fokus cari sertifikat."
"Gimana kalau bulan depan berhenti ikut olim dulu?" tawar ibunya, berharap sang anak bisa sepemikiran dengannya.
"Kenapa?" Varsha menatap ibunya lebih serius.
"Kamu fokus bangun relasi sama temen kamu yang lainnya. Biar masa remaja kamu nggak melulunya soal ambis olimpiade. Masa ini gabisa balik, lho."
"Ngga bisa, Ma. Varsha ga mau kehilangan setiap kesempatan yang ada." Ia menggeleng.
Sang anak mengarahkan lagi fokusnya pada buku di depannya. Seolah-olah memberikan isyarat pada ibunya bahwa ia sedang tak ingin diganggu.
"Kamu cuman takut kehilangan kesempatan olimpiade atau ... Lagi menghindar dari temen-temen kamu?"