Bab 3 - Labirin

325 70 31
                                    

Orang bilang, hidup adalah labirin yang diciptakan Tuhan dengan beratus-ratus kemungkinan sebagai pilihan. Karena itu, aku tidak pernah menyerah begitu saja dengan semua masalah, termasuk tentang dia. Selama lawatan di Vietnam, aku berpikir tentang banyak hal terutama masalah percintaan. Melihat gaya hidup pasangan di sana, banyak yang tinggal bersama tanpa harus mempersoalkan pernikahan, memberiku sebuah gagasan. Jakarta juga tidak akan keberatan menerima gaya hidup seperti itu. Aku, dia, dan Bisma.

Jagad: Sebentar lagi aku berangkat, ya. Luv u.

Honey: Oke.

Meski jawaban singkat, hanya satu kata, tetapi sudah membuatku bahagia. Nomorku sudah tidak diblokir lagi. Bukankah itu pertanda baik? Sebelum berangkat, aku mematut diri di depan cermin satu kali lagi. Malam ini, sengaja kukenakan kaos putih lengan pendek dengan tulisan Famo di bagian dada, favorit dia.

"Gue suka tato lo, Beb. Ngintip-ngintip, menggoda untuk dibuka."

Itu komentar dia pertama kali melihatku mengenakan kaos ini. Selanjutnya, dia selalu menggigit bibir bawah, menatap gemas ke arahku setiap kali aku mengenakannya. Senjata pamungkas malam ini untuk mengajak dia berbaikan. Tato di kedua lenganku memang mengintip manja karena ukuran lengan baju yang lebih pendek dari biasanya.

Kumis dan cambang sengaja tidak kucukur beberapa hari ini. Penampilan sempurna seorang pria versi dia adalah bulu yang terhampar di wajah, kaos oblong, celana jeans, dan rambut sedikit acak-acakan. Dia tidak tertarik pada laki-laki rapi, klimis, dan terlalu wangi. Padahal, penampilanku sehari-hari seperti itu sebenarnya.

Kami bertemu ketika sama-sama kusut dan penuh luka. Penampilanku yang acak-acakan, mabuk di salah satu bar, bau keringat bercampur minuman, justru membuatnya tertarik karena kesan bad boy yang dia tangkap dari diriku. Aku baru saja putus, dia juga.

Obrolan ngawur tak tentu arah, berlanjut pada sentuhan-sentuhan ringan. Dinding-dinding kesepian mulai meronta, menjerit meminta dibebaskan. Alam memaksa kami untuk saling berpeluk, lantas saling memagut. Kesiur angin dini hari meniup mesra sekujur tubuh kami, lantas menyergap gairah tanpa permisi. Sebuah kegilaan dimulai.

Desisan berubah menjadi rintihan. Lenguhan menjelma teriakan. Tubuh serupa menari, bergoyang ke sana kemari, bergerak ke kanan dan ke kiri, menyesap setiap detail jasad seolah tak rela ada satu inchi yang terlewat. Kami sama-sama terkapar dengan bersimbah peluh dan geladir. Lengket, tetapi serupa pelet, membuat kami semakin sulit merentangkan jarak.

Perhatian sederhana dari dia, meski sekadar bertanya sedang apa dan di mana, perlahan menjadi sebuah kebiasaan dan kebutuhan. Dia dan perhatian kecilnya. Aku selalu menunggu, mereguk rindu di cawan semu karena aku tidak bisa, juga tidak terbiasa mengawali komunikasi.

Dia membuatku belajar untuk tidak hanya minta diperhatikan, tetapi juga memperhatikan. Aku mulai bisa mengekspresikan cinta serta perasaan. Tidak hanya pada dia, juga pada Bisma dan keluarganya.

Perkenalan kami memang berawal dari bencana, pelampiasan atas perselingkuhan pasangan masing-masing. Temali takdir terlanjur mengikat kami tanpa disadari. Tidak hanya sehari dua hari, ini sudah lebih dari 365 hari.

Wajah bulan terlalu samar untuk dipandang dari dalam kamar. Cahaya kuning pucat terlalu keras kepala menunjukkan eksistensinya. Dia berusaha melawan mendung yang malam ini tengah ditakdirkan untuk berkuasa. Persis seperti aku, yang kini sedang meronta dengan sisa-sisa tenaga melawan ego di dalam diri agar bisa berbaikan dengan dia.

Aku sedang dilema. Di satu sisi takut kehilangan dia, tetapi di sisi lain aku paling malas harus merayu, mengurut kuduk orang yang sedang merajuk. Itu membosankan bagi orang yang malas bicara seperti aku ini.

Perfect Love for Unperfect ManTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang