"Pagi, Honey. Masih ngantuk, ya?" Kuusap lembut rambut yang sedikit kusut karena pergumulan semalam.
Dia masih bergelung di samping tubuhku. Kepala berbantal lengan kiri, meringkuk seperti kucing ingin dipeluk. Tidur pun dia masih tampak menggemaskan. Pemilik tubuh tinggi langsing itu mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya membuka kedua netra.
"Cepet banget, tahu-tahu sudah pagi. Kamu mau ke kantor?" Dia malah beringsut memelukku.
"Iya. Lagi banyak kerjaan, Honey. Kamu mau di sini dulu?" Aku menarikan jemari, mengusap punggung seputih pualam itu dengan ujungnya.
"Nggak, aku pulang bareng kamu aja. Mandi bareng, yuk? Aku kangen dimandiin," ucapnya manja dengan suara sedikit serak. Suara khas di pagi hari, apalagi setelah bekerja keras semalaman.
Bukan bermaksud sok romantis, aku membopong tubuh ringannya ke kamar mandi. Karena masih sama-sama polos tanpa sehelai benang menutupi, kami bisa langsung berdiri di bawah shower dan menikmati guyuran hangatnya. Membersihkan tubuh sembari sesekali saling memagut, kami berusaha menghapus jejak-jejak percintaan semalam.
Kata orang, mandi bersama mampu menciptakan ikatan tak kasat mata antar manusia. Sentuhan kulit tanpa pembatas apa pun mampu melahirkan keintiman yang istimewa. Ketelanjangan menjadi simbol kejujuran pada pasangan, tanpa ada yang ditutup-tutupi lagi. Itu bahasa indah para pujangga. Bagiku, mandi bersama itu punya satu makna, mesra. Itu saja sudah cukup.
"Beb, aku butuh uang. Si Bisma minta sekolah di play group," ucapnya di sela-sela kecupan.
"Habis ini aku transfer, ya. Dua puluh juta?"
"Boleh. Makasih, ya." Dia memagutku lagi, masih di bawah guyuran air hangat.
Dua puluh juta bukan jumlah yang besar bagiku. Setiap menit, bisnis keluarga Tranggana menghasilkan lebih dari itu. Bisa dibilang, sekali bersin saja aku bisa dapat uang puluhan juta. Tidak masalah.
Sejak resmi menjadi pacarku, dia memang sering mendapatkan uang jajan. Bukan berarti aku sugar daddy. Dia memang butuh itu. Bekerja sebagai pelayan restoran biasa, menanggung anak serta ibunya yang janda, tentu tidak mudah bagi dia. Biaya hidup di Jakarta terbilang mahal. Aku senang-senang saja bisa bermanfaat untuk dia, tanpa harus merasa dimanfaatkan.
Kadang kala, pikiran buruk memang sempat terlintas. Jangan-jangan ... dia mau jadian hanya karena melihat aku orang kaya. Bisa saja, 'kan? Namun, ujung-ujungnya aku juga tidak peduli. Apa pun alasan dia, selagi bisa setia dan tetap bersama, bukan masalah bagiku.
"Sudah kutransfer, ya."
Dia memeluk dari belakang, mengecup tengkukku beberapa kali. Sial, ini area sensitif! Jangan sampai batal ke kantor hanya karena ingin bercinta lagi. Buru-buru kubalikkan badan.
"Makasih, Beb." Tangannya melingkar ke leher, lalu memberikan kecupan ringan di kedua pipi dan berakhir di bibirku.
"Ada sesuatu yang perlu aku sampaikan juga." Aku mendudukkan dia di tepi ranjang.
"Ada masalah, Beb?" Dia pasti penasaran melihat raut mukaku yang berubah seketika.
Aku tidak boleh menyembunyikan kenyataan bahwa Bapak memaksaku untuk segera menikah dan yang pasti bukan dengan dia. Nasib memang terlampau sering mempermainkan manusia. Dulu, aku mengidamkan hubungan yang serius. Berkali-kali putus karena mereka sebatas have fun saja. Sekarang, ketika menemukan seseorang yang benar-benar serius, aku justru tidak berani melangkah. Memang membingungkan.
"Aku ... akan segera dijodohkan sama Bapak."
Kalimatku membuat dia tertegun selama beberapa detik. Mulutnya sedikit membuka, mungkin tidak menyangka akan mendengar berita seperti ini setelah hubungan kami membaik. Aku tidak bermaksud mempermainkan dia.
"Tunggu dulu. Semalam, lo ngebaikin gue cuman buat kasih kabar kayak gini?" Telunjuk runcingnya mengacung persis di depan wajahku.
"Atau ... lo cuman butuh ML sama gue? Lo kira gue pelacur, Gad?" imbuhnya lagi.
"Bukan begitu, Honey. Aku serius dengan ucapanku semalam. Aku benar-benar ingin kita bersama selamanya, meski aku sudah menikah." Kucoba meraih tangannya, tetapi secepat kilat dia menepis.
"Lo nikah dan gue kagak? Lo nolak nikah sama gue, tapi lo mau dijodohon dan nikah sama orang lain? Daebak!" Suaranya semakin meninggi.
"Ini beda kasus, Honey. Tidak mungkin kita bisa menikah."
"Semua pasti bisa, asal lo serius sama gue, Gad! Kita bisa ke luar negeri, nikah di sana. Kalau perlu, kita tinggal di sana selamanya, nggak usah balik lagi ke Indonesia. Lo, gue, sama Bisma. Itu kalau lo serius, Gad." Dia mulai menitikkan air mata.
"Kalaupun kita bisa menikah, keluargaku tidak akan pernah merestui, Honey," ucapku lembut, tak ingin tersulut emosi.
"Kenapa? Karena gue cowok? Cinta itu nggak kenal harta, kasta, bahkan jenis kelamin, Gad! Cinta itu universal. Keluarga lo bukan keluarga kolot, kok. Mereka pasti bisa ngertiin kita. Tinggal lo aja gimana maunya."
Brengsek! Tahu apa Banyu soal keluargaku? Ketemu juga tidak pernah. Aku lebih paham bagaimana keluargaku.
"Kenapa lo diam, Gad?"
"Aku tidak mau kita bertengkar lagi. Honey, tolong, pahami kata-kataku semalam. Kita tidak harus menikah. Kita juga tidak harus serumah untuk bisa terus bersama." Aku menegaskan sekali lagi hasil perbincangan kami semalam. "Sekarang masalahnya, kamu mau atau tidak dengan keadaan itu? Keputusannya ada di kamu, bukan aku."
Hampir setengah jam kami berdebat. Situasi di antara kami kembali memanas dan sepertinya sulit untuk bisa diperbaiki lagi. Kami sudah terlalu berbeda cara pandang. Aku tidak menyalahkan Banyu. Dia mungkin sudah siap untuk terbuka tentang orientasi seksualnya, tetapi aku tidak. Tidak akan pernah.
Aku tahu hubungan ini salah, tetapi bagaimana kalau ini semua sudah titah semesta? Kami dilahirkan dengan kecenderungan seperti ini. Bukan keinginan atau pilihan kami untuk menyukai sesama jenis. Disebabkan oleh trauma? Tidak ada. Aku memang tidak pernah tertarik pada perempuan. Sejak kecil.
"Oke. Kita buat simpel aja, ya. Kita HTS, Hubungan Tanpa Status. Kalau pas sama-sama pengen ketemu, hayuk. Pengen ML, hayuk. Tapi pas gue lagi males, gue berhak untuk menolak. Gue nggak punya kewajiban apa-apa karena gue bukan siapa-siapa lo.
Jujur, gue masih butuh lo, Gad. Kebutuhan hidup gue banyak dan cuman lo yang bisa bantu gue saat ini. Entah, kalau suatu saat nanti gue dapat suami yang baik. Meski nggak tajir melintir, yang penting bisa bantu menopang kehidupan gue."
Aku tahu, Banyu berusaha menutupi rasa pedih. HTS bukan usul yang buruk. Tidak jauh berbeda dengan konsep yang kuutarakan semalam. Bersama, tetapi tidak serumah. Bersama, tetapi tidak menikah. Bukankah pada hakikatnya sama saja?
"Ya, sudah. Aku setuju dengan usulmu. Maafkan aku. Semoga nanti bisa menemukan suami seperti yang kamu idam-idamkan. Selagi belum punya suami, tetaplah jadi my honey."
Ah, ternyata .... Aku memang tidak dilahirkan untuk punya cinta. Cintaku tak pernah punya masa depan, yang ada hanya kehilangan. Yang tidak serius, menganggap cintaku hanya sebuah gurauan, guyonan, dan candaan belaka. Persinggahan sementara bagi mereka, tempat melepas penat untuk sesaat. Sekarang ada yang serius, tetapi terlampau serius hingga menuntut adanya pernikahan. Sungguh membingungkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Love for Unperfect Man
RomanceCinta yang tak biasa adalah kalimat paling tepat untuk menggambarkan kehidupan asmara Jagad. Hidup dengan ketampanan dan kekayaan, tidak lantas menjadikannya pria sempurna. Dia berpindah dari satu hati ke hati lainnya, hingga takdir mempertemukan de...