Bab 4 - That's Enough

307 63 22
                                    

Aku benar-benar malas ketika harus terjebak di situasi seperti sekarang ini. Aku bukan tipikal pria sabar yang telaten menghadapi kemarahan selama berhari-hari, apalagi kalau masih terus merajuk meski sudah ditemui. Aku juga bukan tipe yang bisa terus membujuk dengan lemah lembut. Bukankah lebih enak berdiskusi secara terbuka dan terang-terangan?

Aku sengaja menunggu makanan kami datang lebih dulu sebelum mulai berdiskusi. Perut terisi bisa sedikit menyurutkan emosi. Setidaknya, itu salah satu hal yang kuyakini. Sebenarnya, ada dua tempat yang handal untuk menyelesaikan masalah. Di depan meja makan dan di atas ranjang. Tidak sedikit pasangan yang menyelesaikan masalah mereka di atas ranjang. Entah untuk berbaikan, berdiskusi mesra, atau bahkan bercinta sebagai pelampiasan kemarahan. Kami melakukannya beberapa kali.

Kami pernah berdiskusi mesra dan diakhiri dengan bercinta, meski pada akhirnya tidak ada titik temu perbincangan kami. Kami juga pernah bercinta setelah bertengkar hebat, bahkan masih dalam keadaan marah dan masalah belum terselesaikan. Ada rasa lega saja ketika kami menuntaskannya.

"Bersama itu tidak harus satu atap, kan? Banyak pasangan yang tinggal terpisah, bahkan berbeda kota, tetapi hubungan mereka baik-baik saja. Apalagi, kita ini masih satu kota, Honey. It's not a big matter." Aku mengawali perbincangan setelah dia beberapa kali menggigit sandwich dan menelannya. Dia masih diam saja.

"Di Vietnam kemarin, aku melihat banyak sekali pasangan yang hidup di rumah masing-masing. Sesekali mereka bertemu dan menghabiskan waktu bersama. They still have their own private life. Mereka tetap hidup sebagai seorang individu, tapi juga punya pasangan di saat yang bersamaan. Menurutku itu menyenangkan."

"Jadi, lo maunya kita tetap tinggal terpisah?" Akhirnya, dia bicara juga. Nada suaranya sudah tidak seketus tadi, meski bibir masih maju beberapa senti. Ah, dia tampak menggemaskan kalau seperti ini. Aku rindu menggigit bibir itu.

"Tinggal serumah itu hanya soal fisik, bukan hati. Buat apa kita tinggal satu rumah kalau tidak sehati? Bukankah lebih baik tinggal terpisah, tapi kalau ketemu kita selalu mesra?"

"Tinggal terpisah, kalau ketemu isinya hanya mendesah. Lo pikir, gue ini tempat buang lendir?" Rahang yang biasa kucengkeram ketika memagut itu tampak mengetat. Sifat manja dan kolokannya itu, sebenarnya aku suka. Namun, tidak dengan ketusnya.

"Bukan begitu, Honey. Maksudku, jangan sampai kamu sibuk mengejar hal fisik, tapi menomorduakan urusan hati. Mau serumah ataupun tidak, aku cintanya hanya sama kamu, kok. Tidak ada yang lain. Lalu, kenapa dipermasalahkan?" Sepotong pancake menjadi penutup kalimatku.

Tidak ada manusia lain di dunia ini yang berhak atas cintaku selain dirimu. Aku mencintaimu dan itu cukup bagiku. Kamu mencintaiku, itu sudah lebih dari cukup. Sesederhana itu caraku mencintai dan dicintai.

"Beneran, nggak ada yang lain? Kan, ucapan cowok nggak bisa dipercaya." Meski tipis, aku bisa melihat dia mengulum senyum.

"Kamu tahu, aku orangnya tidak bisa basa-basi. I love you, that's enough. Noone else."

Dia tersenyum malu-malu sambil menatapku. Usianya sedikit di atasku, tetapi mungkin pembawaan serta postur tubuh, membuat aku terlihat lebih dewasa dari dia. Ditambah lagi, sifat manja membuat dia semakin terlihat muda.

"Terus, kita nggak nikah?" tanya dia lagi sambil menyesap teh leci hangat di hadapannya.

"Sepenting itukah pernikahan bagimu?"

Legalitas atas nama cinta, bukan sesuatu yang berharga melebihi rasa itu sendiri. Toh, pada kenyataannya, banyak orang buru-buru melegalkan hubungan mereka, tetapi malah terlupa menjaga rasa. Berujung pada punggung bertemu punggung, dua manusia yang terikat janji, tetapi malah terlepas hati.

Bagiku, pernikahan itu tidak lebih dari sekadar kesepakatan. Cinta dan pernikahan, itu dua hal yang jauh berbeda. Banyak orang menikah tanpa cinta. Pun sebaliknya, banyak orang saling cinta dan hidup bersama tanpa harus menikah. Jadi, mana yang sebenarnya lebih penting? Saling cinta atau menikah?

Kemarin waktu di Vietnam, banyak pasangan yang bisa hidup bersama sampai tua tanpa harus terikat dalam pernikahan. Zaman sudah berubah. Ini bukan lagi zaman batu.

Dia termangu mendengar pemaparanku. Mestinya, dia bisa lebih bijak dalam berpikir. Dia sudah pernah gagal dalam pernikahan, lantas kenapa masih memuja ritual kuno itu dalam hidupnya?

"Mana yang kamu pilih, kita menikah, tapi tidak saling cinta lagi atau tetap saling cinta selamanya, tanpa harus menikah?" Kulontarkan pertanyaan pamungkas malam ini. Kurasa, ini bisa mengakhiri kebekuan di antara kami. Hanya opsi ini yang bisa kutawarkan untuk dia.

Selama beberapa menit, kami sama-sama bungkam. Aku sengaja memberi dia jeda untuk bisa memikirkan kata-kataku tadi. Aku serius ingin terus bersama dia, bahkan selamanya. Tanpa menikah, tentu saja.

"Gue paham maksud lo, Beb. Oke, gue terima tawaran lo. Nggak masalah kita nggak nikah, asal lo jangan tinggalin gue."

"Tidak akan." Kami saling melempar senyum. Perubahan kata gue lo menjadi aku kamu, sudah jadi penanda bahwa kemarahan dia sudah sirna. Syukurlah, aku tidak perlu kehilangan cinta malam ini.

"Honey, bisa menginap di penthouse, kan?" Aku mengedipkan satu mata. Dia hanya tertawa sambil menganggukkan kepala. Sudah beberapa hari kami tidak bersama dan ... tidak bercinta. Ada sesuatu yang meronta di bawah sana, menuntut segera dilepaskan dan dipuaskan.

Selama satu jam berikutnya, tawa lepas dari kekasihku terus berkumandang. Keceriaan dia selalu menghiburku. Selagi tidak ngambek, dia pasti banyak berceloteh sementara aku lebih asyik mendengarkan. Anggap saja, podcast pribadi.

"Beb, lo sengaja pakai kaos ini, ya," katanya sambil bergelayut manja di lenganku ketika kami menyusuri lorong menuju penthouse. "Pasti sengaja menggoda."

"Berhasil, kan?" Aku tersenyum. Rupanya, dia bisa membaca pikiranku.

"Banget. Jadi nggak sabar lihat tato lo." Dia mencium bahuku sekilas.

Baru beberapa hari tidak bersama, rasanya sudah seperti sewindu tidak bertemu. Aku mencintainya, lebih dari siapa pun di dunia ini. Aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Kalaupun nanti harus menikah dengan pilihan Bapak, aku tetap menginginkan dia.

Kini, dia berdiri di depan pintu kamar, memamerkan tubuh indahnya yang sintal dan matang. Ini akan menjadi malam paling panjang dan melelahkan untuk kami berdua. Tumpukan rindu perlu diselesaikan satu per satu. Sisakan sedikit saja, jangan banyak-banyak agar tidak sakit kepala.

Tiga kali bercinta tanpa jeda lama membuat kami sama-sama terkapar dengan napas tersengal. Masih bermandi peluh, dia duduk bersandar di kepala ranjang, lalu meraih sebungkus rokok berwarna putih. Rokok beraroma mentol, dia jepit di antara telunjuk dan jari tengahnya yang lentik. Jemari indah yang sudah sekian lama membelai dan menyusuri setiap jengkal tubuhku. Dia sudah sangat hafal setiap detailnya. Tangan kurus halus mulus yang ingin selalu kugenggam, sampai kapan pun.

 Tangan kurus halus mulus yang ingin selalu kugenggam, sampai kapan pun

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Perfect Love for Unperfect ManTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang