Bab 9 - Deal

317 57 37
                                    

Tidak mungkin aku meninggalkan Indonesia. Meski banyak bisnis Tranggana di luar sana, tetapi Jakarta tetap menjadi pusat bisnis keluarga kami. Mustahil juga berpamitan pada keluarga, apalagi dengan alasan menikahi seorang pria. Benar-benar dilema. Setelah setengah jam lebih menunggu, akhirnya Angga menghubungiku.

"Ya, Ngga."

"Sori, Mas. Tadi aku masih nyetir sambil mikir. Gini aja, gimana kalau cewek yang tadi Mas pakai ... eh, belum dipakai, ya. Maksudku, cewek yang tadi, Mas sewa aja untuk jangka panjang."

Angga memaparkan gagasannya. Dia mengusulkan agar aku menyewa Claudia untuk berpura-pura jadi istri, bahkan kalau perlu sampai kami punya anak. Nanti setelah punya anak, kami bisa bercerai atau lanjut bermain drama sampai batas waktu yang tidak ditentukan.

"Siapa coba yang nggak mau jadi bagian dari keluarga Tranggana, meski itu hanya pura-pura? Kasih aja dia uang bulanan yang banyak, Mas. Dia nggak perlu capek-capek kerja, bisa hidup mewah sebagai istri kamu."

Usulan bagus. Namun, aku tidak mau berlama-lama main drama. Setelah punya anak, lebih baik kami segera bercerai. Aku lebih nyaman hidup sendiri. Yang terpenting, sudah punya keturunan. Jadi, Bapak tidak akan cerewet lagi.

"Thanks, Ngga. Aku urus sekarang." Tak perlu menunggu jawaban, kumatikan sambungan secara sepihak. Ada hal lebih penting untuk segera dilakukan, menghubungi bos Claudia.

Jagad: Saya mau sewa Claudia dalam jangka waktu lama. Semua saya bayar di depan. Kapan bisa ketemu dan bicara bertiga?

Semoga saja mereka tertarik dengan tawaranku. Kurasa, ini bukan hal yang sulit untuk mereka berdua. Semua sama-sama diuntungkan. Masalahku teratasi, mereka pun mendulang pundi-pundi rupiah tanpa harus bekerja keras, terutama bagi Claudia.

Andi: Wah, puas dengan pelayanan Claudia, rupanya. Mau ketemu sekarang?

Cepat sekali respons laki-laki ini. Kulirik jam di dinding, masih pukul setengah sebelas malam. Belum terlalu larut, apalagi bagi mereka yang sudah karib dengan dunia malam.

Jagad: Saya tunggu di penthouse sekarang.

Andi: Ashiap, Bang. Saya meluncur ke sana sama Claudia.

Kalau memang bisa dituntaskan malam ini, aku tidak mau menunda lagi. Andai nanti mereka menolak tawaranku, setidaknya aku tidak membuang-buang waktu. Besok, bisa segera mencari kandidat lain lagi. Usulan Angga sudah benar-benar tepat. Hanya ini solusi terbaik untuk masalah kami.

Kucoba menuliskan beberapa pasal kesepakatan di atas selembar kertas sembari menunggu mereka datang. Belum resmi, hanya sebatas coretan-coretan kasar tentang hak dan kewajiban masing-masing. Memang sedikit rumit karena melibatkan tiga pihak. Tentu akan jauh lebih sederhana dan mudah jika hanya ada aku dan Claudia saja. Kalau saja tadi sempat meminta nomor pribadi gadis itu, tentu tidak perlu melibatkan Andi segala.

Tunjangan, fasilitas, komisi untuk Andi, dan bonus jika semuanya berjalan dengan lancar, sudah kutulis semua. Sepertinya, akan cukup menggiurkan untuk mereka. Sekarang, tinggal menunggu kedatangan Andi dan Claudia. Semoga mereka bisa bersepakat malam ini.

Kuputar pena di ibu jari, kebiasaan dari zaman SMA dulu untuk membunuh waktu, sembari memutar kembali memori pada percakapan dengan Banyu beberapa hari lalu.

"Kalau kita menikah, lalu siapa yang jadi suami dan siapa yang jadi istri? Pernikahan sesama jenis menurutku masih rancu. Apa hanya ditentukan dari top dan bot? Kamu lebih feminin daripada aku, meski kamu adalah topku."

Jelas aku tidak terima kalau dianggap sebagai istri. Secara penampilan, fungsi ekonomi, serta sifat dan perilaku, aku jauh lebih pantas menjadi suami dia. Bedanya hanya soal posisi bercinta. Ketika di atas ranjang, aku lebih nyaman berfungsi sebagai wanita. Cukup diam, menikmati.

"Nggak ada suami dan nggak ada istri. Itu yang terjadi kalau kita menikah. We are equals. Kita sama. Kita sederajat sebagai partner, bukan sebatas suami dan istri. Kita tidak dibeda-bedakan gender, fungsi, jenis kelamin, dan segala tetek bengek kasta. Kita sama sebagai manusia. Bukankah itu lebih asyik?"

Sebagian dari diriku bisa menerima pemikiran dia. Namun, sebagian sisanya tetap merasa janggal. Aku terlalu kolot, terbiasa melihat pembagian tugas antara suami dan istri, ayah dan ibu, laki-laki dan perempuan. Aku belum terbiasa memandang semuanya dengan equals alias sama. Meski selera bercinta pada sesama, tetapi aku tidak bisa memungkiri kodrat.

Hal yang lebih penting lagi, aku tidak bisa mengecewakan keluarga, terutama kedua orang tua. Mereka pasti akan sangat terpukul kalau tahu anak sulung kebanggaan dan kesayangan mereka ternyata bukan pria sempurna. Selama ini, keluarga menjadikanku contoh bagi para sepupu. Bahkan, Arumi sering terpinggirkan karena Bapak dan Ibu terlalu fokus pada diriku. Anak pertama, cucu pertama, harapan besar keluarga Tranggana. Lalu, apa jadinya kalau sampai tersiar berita pernikahan antara Jagad Wangsa Tranggana dengan sesama pria? Bisa geger dunia persilatan, silat lidah.

Terdengar bunyi ketukan pelan di pintu depan. Ah, akhirnya mereka datang juga. Claudia masih mengenakan baju yang sama dan seorang pria berambut sedikit gondrong berdiri di sampingnya. Dia pasti Andi. Tidak kusangka, dia tampan juga. Kalau kutaksir, usianya masih di bawah empat puluh tahun. Usia matang, pas dengan seleraku.

"Masuk." Kupersilakan mereka sambil mencuri pandang ke arah Andi. Menggemaskan! Apa dia bisa disewa juga?

"Jadi, Bang Abi ini mau sewa Claudia berapa lama?" Tanpa basa-basi, dia langsung bicara begitu menghempaskan tubuh di atas sofa. Laki-laki tegas selalu lebih menggairahkan.

Kujelaskan detail tentang rencanaku menikahi Claudia. Ada dua tawaran kerja sama yang bisa kuajukan. Pertama, menikah selama satu tahun untuk kemudian kami bercerai. Kedua, menikah sampai punya anak dan kita coba dulu selama tiga tahun. Nantinya, kontrak bisa diperpanjang atau diakhiri, tergantung kesepakatan kedua belah pihak.

Kujelaskan juga pada mereka bahwa bayi akan diperoleh dengan proses bayi tabung, bukan pembuahan alami. Setelah dilahirkan, bayi akan sepenuhnya menjadi hakku, bukan sang ibu. Perjanjian akan diakhiri tanpa tuntutan dan tunjangan apa pun sebagai mantan istri maupun ibu dari si bayi. Dia tidak boleh menemui bayi kami lagi setelah perjanjian berakhir. Dia akan dianggap mati.

"Tulis saja, berapa saya harus bayar setiap bulan pada kalian berdua. Bonus akan saya berikan jika berhasil melaksanakan kerja sama hingga masa perjanjian berakhir. Perjanjian dianggap batal jika terjadi kebocoran pada pihak luar tentang kerja sama ini." Kuletakkan pena di atas meja, sedikit menekan psikologis mereka.

Menilik ekspresi mereka berdua, sepertinya tertarik dengan tawaranku. Mereka belum tahu berhadapan dengan siapa sekarang ini. Kalau sudah menandatangani perjanjian, baru mereka boleh tahu bahwa aku adalah keluarga Tranggana. Mereka tidak akan berani bermain-main dengan keluarga kami.

"Aku pilih opsi kedua. Tapi, bayarannya tidak murah." Claudia tersenyum—lebih mirip menyeringai—sambil meraih pena dan menggoreskan sesuatu di kertas perjanjian. Pasti dia menulis sederetan angka di sana.

 Pasti dia menulis sederetan angka di sana

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 21, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Perfect Love for Unperfect ManTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang