Bab 6 - Lunch Time

282 64 61
                                    

Waktu terus bergulir dan aku belum menemukan jalan keluar tentang paksaan Bapak untuk segera menikah. Aku tidak punya siapa-siapa untuk diajak bicara tentang hal ini. Arumi? Ah, dia terlalu sibuk dengan masalahnya sendiri akhir-akhir ini. Wait a minute, Angga! Menilik dari gayanya, 99,99% dia sama sepertiku. Mana mungkin pria melambai seperti dia suka sama perempuan. Aku yang gagah perkasa saja tidak suka, apalagi dia.

Jagad: Ngga, aku perlu bicara sama kamu. Penting! Kapan kita bisa ketemu?

Aku masih menimbang-nimbang, sekadar berdiskusi untuk mencari solusi ... atau harus jujur bahwa aku juga pisang makan pisang, sama seperti dia. Lihat sikon nanti saja, deh. Toh, dia pasti bisa menjaga rahasia. Aman.

Angga: Hayuk aja aku, Mas. Mau kapan? Hari ini? Aku bisa-bisa aja, kok. Kan, kamu yang super sibuk orangnya.

Jagad: Makan siang bareng, yuk. Jam sebelas kamu harus sudah ada di kantorku.

Angga: Wokey. See you then.

Masalah kami berdua bisa dibilang sama, bahkan mungkin lebih berat dia. Usia kami sebaya dan sama-sama tidak suka wanita. Namun setidaknya, dengan penampilanku saat ini aku jauh lebih mudah mendapatkan wanita, berbeda dengan dia. Aku masih punya peluang untuk berpura-pura. Kalau ada wanita di sisiku, orang tidak akan curiga apa-apa. Lah, dia?

Orang sering meledek dia ketika bersama wanita, dibilang emak-emak lagi rumpi atau malah lebih kejam lagi dikatakan lesbi. Pernah sekali waktu dia mencukur rambutnya dengan gaya army. Ya, mungkin dia ingin terlihat sedikit macho. Apa kata orang?

"Duh, jadi anak gadis jangan terlalu tomboi, Ngga."

"Ya, ampun, Angga! Kamu mirip Agnez Monica."

Memang menyakitkan, ketika gender, role, dan penampilan dijadikan bahan ejekan. Semua itu ranah pribadi kami, area private yang tidak perlu diutak-atik orang lain. Seharusnya, mereka lebih melihat pada kemampuan juga prestasi yang berhasil kami raih. Alih-alih sekadar selera kami pada laki-laki.

Kadang aku pun bertanya-tanya, mana yang sebenarnya lebih berat dan memuakkan? Aku yang harus berpura-pura dan orang sama sekali tidak menyangka atau Angga yang tanpa harus berkoar, orang sudah bisa menerka? Aku tidak punya cukup keberanian untuk menunjukkan jati diri seperti Angga. Di balik tingkah gemulainya, ternyata dia sangat berani berekspresi. Dia tidak terlalu peduli pandangan orang lain terhadapnya.

Dari yang aku lihat, dia sangat menikmati hidupnya. Ke mana pun dia pergi, selalu ada canda tawa mengiringi. Kehidupan yang sangat kontras denganku. Aku lebih suka diam dan menyendiri.

Sengaja menyibukkan diri dengan data perusahaan sembari sesekali pikiran berkelana tentang masa depan, aku menunggu kedatangan sepupu terdekatku itu. Dari delapan sepupu, Angga dan Zana memang sepantaran denganku. Zana satu tahun di bawahku. Kami sering berkumpul dan bermain bersama waktu kecil dulu. Namun, kedekatan dengan Zana tidak sama seperti kedekatanku dengan Angga. Bukan hanya karena dia seorang wanita sehingga aku lebih nyaman dengan Angga, tetapi Bapak juga sering melarangku bermain dengan Zana.

"Jangan sering main sama perempuan, nanti kamu jadi kemayu. Lihat itu Angga, mainnya sama Zana melulu. Sekarang, orang jadi susah membedakan, mana Zana, mana Angga. Bahkan, dia jauh lebih gemulai daripada Zana," tutur Bapak waktu itu.

Bapak lebih suka aku bergaul dengan teman laki-laki, apalagi yang hobi olahraga. Menurut dia, itu akan membangkitkan keperkasaan dan kejantananku. Benar saja, harapan Bapak terkabul. Kejantananku memang selalu bangkit ketika bersama mereka.

Tidak dapat dipastikan kalau anak laki-laki bergaul dengan perempuan, lantas orientasi seksualnya akan berubah. Bukan jaminan pula jika terus bergaul dengan sesama laki-laki, maka akan tumbuh jadi pejantan tangguh. Orientasi itu soal selera, bukan kebiasaan.

Suara pintu dibuka. Laki-laki berkulit putih mengenakan kemeja lengan pendek dengan kerah ruffle warna merah muda berjalan pelan seraya melempar senyum ke arahku. Dia terlihat anggun, meskipun punya jakun.

"Hai, Mas. Pas banget, jam sebelas kurang dua menit," kata dia menyapa sembari mengangkat tangan kiri, memamerkan Rolex Oyster Pearlmaster, jam tangan wanita kebanggaannya. Dengan lengan kurus panjang seperti pipa air, dia memang lebih cocok mengenakan jam tangan wanita daripada arloji pria.

"Thanks for coming." Kututup laptop dan mengajaknya keluar.

"Kami lunch dulu, Al," kataku ketika melewati meja Aluna. Tanpa menoleh, cukup lambaian sekilas saja.

"Udah lama banget kita nggak makan siang bareng, ya. Bapak wakil dirut selalu sibuk." Angga menyindir manja ketika kami masuk ke executive lift.

"Mas Jagad nggak bosen di kantor mulu?" tambah Angga lagi sembari membenahi rambut dan pakaian, mengandalkan pantulan dari dinding lift yang mungkin serupa cermin bagi dia.

"Berbisnis itu passion-ku dan aku nyaman dengan itu. So?"

"No problem kalau emang itu memang passion kamu. Tapi ... hidup kamu itu perlu dibikin lebih meriah. Jangan terlalu kaku, Mas. Rileks. Lihat, sekarang aja kamu berdiri tegak kayak tentara. Hello, I am your cousins, Dude!" Angga terkekeh manja.

"Aku nyaman seperti ini."

Kami memang dua kepribadian yang sangat berbeda. Aku ibarat bara, sedangkan Angga adalah api yang menari-nari di atasnya, meliuk manja. Sejak kecil, kami sudah seperti ini. Dia dengan segala kemeriahan dan aku dengan segenap diam.

"Aku aja yang nyetir, Mas. Sekali-sekali nyobain mobil sporty." Angga berlari kecil, mendahului ke pintu sebelah kanan. Dia masih sempat mengerling manja sebelum membukanya. Kubiarkan saja dia mencoba Lamborghini kesayanganku. Sensasinya pasti jauh berbeda dengan Mini Cooper hijau kesayangan dia.

"Ngga, kamu sehat? Malu, bawa Lamborghini tapi kecepatan hanya enam puluh kilometer per jam!" Menyesal, kenapa tadi kuizinkan dia yang bawa? Bukan gayaku untuk membuang-buang waktu membelah jalanan.

"Santuy, Mas. Hidup itu bukan cuman mengejar target dan sampai di tujuan. Kita jangan sampai lupa menikmati setiap proses dan perjalanan menuju ke sana." Angga malah memutar lagu slow di sepanjang perjalanan sambil bernyanyi ala Sahrini.

Tiba di depan restoran, aku tetap berusaha tenang menghadapi kelakuan sepupu satu itu, meski dahi sedikit mengernyit. Perjalanan yang seharusnya ditempuh selama dua puluh menit, jadi dua kali lebih lama karena tingkah Angga. Dia malah cengar-cengir menyusul langkah tegapku.

"Mas, duduk di sana aja, yuk." Angga menunjuk area paling utara, sofa panjang berhadapan dengan kursi kayu bergaya Skandinavia. Aku tahu, dia pasti mau menghempas manja di atas sofa. Kujawab saja dengan anggukan.

Tepat seperti dugaan. Dia langsung duduk di sofa dan tersenyum lega. "Uh, nikmatnya."

Kami meminta dua botol air mineral agar tenggorokan bisa segera dibasahi, sebelum kemudian memesan beberapa menu makan siang. Tidak butuh waktu lama karena kami memang sudah sering ke tempat ini. Jadi, cukup hafal dengan menu-menu yang ditawarkan.

"So, apa yang bisa aku bantu, Mas? Jarang-jarang, loh, seorang Jagad Wangsa Tranggana meminta bantuanku. Momen spesial ini." Angga lagi-lagi merapikan rambut dengan menyisirkan jemarinya.

"Aku ...."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Perfect Love for Unperfect ManTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang