Bab 2 - Madness

352 78 40
                                    

Awal bulan seperti ini pekerjaan pasti menumpuk. Setumpuk berkas sudah tersusun tinggi di belakang meja kerja Aluna, menanti untuk dianalisa dan disetujui. Gadis penyuka warna pastel itu akan menyodorkan berkas-berkas padaku sesuai urutan urgensi. Dia sudah sangat cekatan dalam memilah dan memilih.

"Permisi, Pak. Dua berkas paling atas butuh jawaban segera, sebelum jam makan siang." Dia meletakkan setumpuk berkas ke meja kerjaku, beberapa menit setelah aku tiba di kantor.

"Buatkan saya kopi hitam, ya." Kuambil dua berkas paling atas.

"Tumben, Pak. Ngantuk?" Matanya sedikit membelalak. Aku cukup menjawab dengan anggukan saja.

Ya, dia pasti heran. Empat bulan bekerja di sini, baru kali ini aku meminta dibuatkan kopi. Sudah tiga malam mata susah terpejam. Bagaimana bisa tidur nyenyak kalau hubungan dengan kekasih tercinta masih digantung seperti layang-layang? Kata 'break' yang dia kirimkan melalui pesan, bisa bermakna ganda. Putus dalam arti sebenarnya atau sekadar berhenti sementara. Aku butuh kejelasan. Sayangnya, dia langsung saja memblokir nomorku.

Ah, sudahlah. Sekarang, lebih baik fokus dulu pada pekerjaan. Kupaksa diriku untuk menendang bayangan dia keluar dari tempurung kepala. Bayangan dua manusia. Dia ... dan anaknya. Aku juga rindu malaikat kecil itu.

"Ini, Pak. Kopi hitam dengan sedikit gula. Maaf, saya belum tahu takaran yang pas dengan selera Bapak kalau untuk kopi. Bapak tinggal bilang saja, kurang gula atau tidak."

Aluna selalu tampil modis. Meski tubuhnya mungil, dia bisa menyiasati dengan baik. Rok mini dan sepatu hak tinggi menjadi andalan gadis berusia 24 tahun itu.

"Wait." Kutiup sebentar, lalu menyesap sekilas, sekadar merasakan pas tidaknya kopi racikan Aluna. "Pas, kok."

"Syukurlah. Ada lagi yang bisa saya bantu, Pak?"

"Kamu punya pacar?"

"Punya, Pak. Kenapa?" Aluna tergemap mendengar pertanyaanku. Mungkin, dia berpikir yang tidak-tidak. Padahal, aku bertanya bukan karena naksir dia.

"Pacarmu pernah marah sama kamu?"

"Sering," jawabnya enteng.

"Bagaimana caramu supaya dia tidak marah lagi?"

"Temui dia, bawain makanan kesukaan dia, pasang tampang manja, terus rayu pelan-pelan, Pak. Pacar Bapak lagi ngambek, ya?" Bibir tipis merah alami itu mengulum senyum. Pasti dia tidak menyangka kalau aku punya pacar. Ah, persetan dengan pikiran dia. Yang kubutuhkan saat ini hanyalah solusi.

"Pernah diblokir sama pacar kamu?"

"Nggak pernah, Pak. Pacar saya tidak selabil itu. Saya malahan yang beberapa kali memblokir nomor dia." Aluna tertawa kecil.

"Terus, apa yang dia lakukan setelah nomornya kamu blokir?" Kutempelkan punggung di sandaran kursi sembari menatap lekat ke arah Aluna. Ini adalah pertanyaan inti. Semoga dia bisa memberi solusi.

"Dia beli nomor baru, berusaha menghubungi saya supaya tidak terus merajuk." Aluna memaparkan beberapa hal yang dilakukan pacarnya untuk bisa berbaikan. Ternyata, dia mengalami gaya pacaran putus nyambung ala artis ibu kota, tetapi dengan orang yang sama.

Dia menyarankan untuk segera membeli nomor baru dan menghubungi kekasihku. Menurut dia, kalau ada masalah jangan ditunda-tunda. Segera selesaikan agar tidak membesar.

"Thanks, Al. Sekarang, belikan saya nomor baru."

"Baik, Pak," jawab gadis itu sebelum meninggalkan ruangan.

Aku berniat mengikuti semua saran Aluna. Semoga saja hubungan kami bisa segera membaik. Tidak nyaman rasanya berlama-lama dalam pertengkaran.

Sebelum dia, memang ada beberapa orang sempat singgah di hati. Namun, tidak ada yang bisa bertahan lama. Mereka tak pernah lebih dari enam bulan bersamaku. Semua berakhir tragis, perselingkuhan. Tentu bukan aku, tetapi mereka. Banyak sekali alasan yang mereka kemukakan. Dari aku terlalu sibuk bekerja, sehingga tidak ada waktu untuk mereka, sekadar variasi seksual saja, hanya mengisi waktu, hingga alasan paling konyol, khilaf.

Khilaf adalah alasan paling populer bagi para peselingkuh. Mana ada khilaf yang direncana? Mereka harus janjian dulu, membuat kesepakatan, pesan kamar hotel, menyiapkan pengaman. Semua itu bukan tahu bulat yang digoreng dadakan!

Di puncak muak dengan ketidaksetiaan, aku bertemu dengan dia. Sama-sama mengisi kekosongan, kami saling berkenalan di sebuah bar dan lanjut bercinta di salah satu kamar hotel. Tentu saja harus mencari hotel murahan agar tidak ada yang mengenaliku. Bisa runyam kalau sampai bersirobok dengan teman.

Bercinta beberapa kali, bertemu dalam hitungan hari, kami memutuskan untuk saling menautkan hati. Dari awal, aku sudah menyiapkan diri kalau sewaktu-waktu dia melangkah pergi. Sungguh tidak menyangka kalau kami bisa bertahan sejauh ini. Tetap bersama selama satu tahun lebih adalah sebuah prestasi. Kini, biduk cinta kami sedang diuji.

Di saat aku menemukan keseriusan, di saat yang sama pula takdir mulai mempermainkan. Paksaan Bapak untuk segera menikah, juga tentang perjodohan yang dia paksakan, membuat situasiku semakin rumit. Andai saja bisa membawa kekasihku menemui keluarga. Aku tidak berani.

Sudah berulang kali dia minta putus karena merasa tidak diakui. Puncaknya, pesta ulang tahun Eyang Putri. Dia memaksa agar aku mengajaknya ke acara itu. Aku bilang tidak bisa. Meski dia kekasih tercinta, acara itu hanya untuk keluarga.

Baru kali ini aku menemukan orang yang tepat untuk dicintai. Dia benar-benar serius dengan hubungan kami, bahkan sudah mengenalkanku pada ibu dan anak semata wayangnya, Bisma. Dia setia, tidak pernah berselingkuh, meski banyak pria lain memujanya.

"Aku, kamu, dan Bisma, itu keluarga sempurna, Beb. Sudah satu paket. Apa karena Bisma bukan anak kandung kamu sehingga kamu keberatan?" tanya dia terakhir kali kami bertemu.

"Bukan itu, Honey," jawabku lirih sambil mengusap pipinya.

"Lalu kenapa?" Dia masih merebahkan kepala di pangkuanku, menatap sendu.

"Keluargaku tidak akan pernah merestui hubungan kita."

"Kamu belum pernah mencoba, 'kan? Itu hanya asumsi dan ketakutanmu sendiri. Ini zaman modern, Beb. Pasangan itu tidak harus perawan ting-ting dan bujangan ting-tong. Kamu kayak hidup di pelosok hutan aja, sih. Kuliah juga di Amrik, hidup di Jekardah. Udik!" Dia marah, pergi meninggalkan penthouse tanpa kecupan sayang sebagai tanda perpisahan seperti biasanya.

Ah, sulit sekali berkonsentrasi dengan pekerjaan. Kubanting berkas di tangan, melampiaskan kemarahan. Kejadian demi kejadian seperti kaleidoskop, terus berputar di dalam kepala.

Ya, aku ingin menikah, punya keluarga normal, punya anak kandung sebagai penerus keluarga, pulang kerja disambut istri serta anak tercinta. Namun, aku takut menyakiti hati kekasih tercinta. Aku yakin seratus persen, keluargaku tidak akan pernah merestui hubungan kami.

Meninggalkan dia? Sepertinya aku tidak sanggup. Aku butuh dia, bahkan jika sudah menikah nanti. Hal terbaik yang bisa kutawarkan adalah tetap bersama meski tanpa ikatan apa-apa. Bukan berarti tidak serius, tetapi memang mustahil untuk bisa bersama secara terbuka. Bukankah cinta tidak butuh legalitas? Banyak orang punya legalitas atas kebersamaan mereka. Namun, tidak ada cinta di antara keduanya. Mana yang sebenarnya lebih menyakitkan?

 Mana yang sebenarnya lebih menyakitkan?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Perfect Love for Unperfect ManTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang