Kantor adalah tempat ternyaman setelah penthouse yang sudah kutempati selama enam tahun ini pasca kepulangan dari Amerika membawa gelar BA dan MoB. Ruangan sengaja didesain artistik agar tidak bosan di dalamnya karena hampir seluruh waktu kuhabiskan di sini. Aku mengontrol semua bisnis dari ruangan di lantai 43, lantai tertinggi Menara Tranggana sebagai kantor pusat PT Tranggana Textile Abadi atau lebih dikenal dengan sebutan TrangTex.
Workaholic? Mungkin. Sebagai cucu tertua di keluarga, tentu tanggung jawabku tidaklah ringan. Meski tidak bertanggung jawab atas kehidupan pribadi para sepupu, tetapi setidaknya bisnis keluarga menjadi fokus utama. Ini adalah sumber kehidupan dan kehormatan bagi keluarga besar kami. Tanpa bisnisnya, trah Tranggana bukan siapa-siapa.
Aku menikmati semua detail pekerjaanku. Analisis, menyusun strategi, organizing, itu semua menyenangkan. Berkutat dengan data dan rencana memang jauh lebih menyenangkan daripada harus bertemu dengan banyak orang. Aku lebih suka berdiri di belakang layar, sesekali tampil ke depan hanya untuk menjaring relasi dan pencitraan. Dua hal penting dalam dunia bisnis.
Dominasi warna hitam dan cokelat tua menjadi ciri khas kantor, sama seperti di penthouse. Dua warna favorit yang memang mampu memberiku rasa nyaman. Hitam itu elegan menurut sebagian orang. Punya kesan misterius, tetapi berwibawa, seperti aku.
"Pak, meeting sudah siap dimulai. Pak Ajisaka baru saja tiba." Aluna mengingatkan. Sekretaris baru, tetapi sudah sangat piawai membantuku.
"Oke." Menjawab singkat, aku bergegas berdiri dan merapikan jas sebelum menuju ruang meeting bersama gadis berkuncir kuda itu.
Pria paruh baya yang dipanggil Ajisaka tadi adalah ayahku, direktur utama TrangTex. Dia jarang berkunjung ke gedung ini karena sudah memercayakan sebagian besar urusan perusahaan padaku selaku wakil direktur utama. Posisi yang sudah selayaknya kudapatkan. Bukan hanya karena cucu tertua, tetapi fakta sudah membuktikan bahwa aku berhasil meningkatkan laba perusahaan setiap tahunnya. Tidak semua orang bisa, kan?
"Selamat siang semua." Masuk ke ruang meeting, aku mengangguk sekilas pada para direksi lalu duduk di samping Bapak.
Sudah kebiasaanku, memulai meeting tanpa banyak berbasa-basi. Layar monitor kecil otomatis muncul dari masing-masing meja. Aluna mengoperasikan semuanya. Mereka akan lebih mudah menyimak presentasiku siang ini, hasil lawatan ke Jepang beberapa minggu lalu.
Aku memaparkan tentang lean manufacturing, praktik produksi yang mempertimbangkan segala pengeluaran sumber daya untuk menghilangkan semua pemborosan, baik itu biaya produksi maupun aktivitas yang tidak bermanfaat. Ini yang kemarin aku pelajari selama di Jepang dan ingin segera kuterapkan di perusahaan kami. Teknik ini pasti akan mampu mendongkrak laba perusahaan jika dijalankan dengan baik.
"Kita akan membentuk tim khusus untuk pelaksanaan serta pengawasan program. Saya sendiri yang akan turun tangan dalam pembentukan tim inti. Setelah tim terbentuk, saya akan segera kirimkan prosedur yang harus dijalankan oleh setiap divisi."
Semua direksi setuju dengan rencana yang kupaparkan. Tidak satu pun dari mereka mempermasalahkan, apalagi keberatan. Meeting berakhir sempurna, sesempurna senyum yang mengembang di wajahku.
"Mas, Bapak mau bicara," kata Bapak begitu meeting selesai. "Di ruanganmu saja."
"Iya, Pak." Aku mengangguk.
Sepertinya, ada hal yang sangat penting ingin dia bicarakan. Kami berjalan beriringan sembari sesekali kulirik wajah pria berusia 54 tahun yang terlihat tegang itu. Aku menelengkan kepala, berusaha menerka ada masalah apa. Aluna mengekor di belakang kami dengan langkah kecilnya.
"Pak Ajisaka, mau kopi atau teh?" Dengan sigap, gadis manis dengan surai legam sedikit ikal itu menawarkan minuman ketika kami tiba di depan pintu.
Berhenti sesaat, Bapak menjawab, "Kopi tanpa gula."
"Baik, Pak." Aluna mengangguk dan meninggalkan kami. Dia tidak perlu bertanya, minuman apa yang aku mau. Dia sudah hafal. Teh dengan sedikit gula alias manis jambu.
"Mas, kamu lihat perusahaan kita. Semua maju pesat dan itu berkat kamu." Bapak mulai membuka suara.
Aku menunggu kelanjutan kalimat. Menilik dari ekspresi Bapak, tidak mungkin dia bermaksud memuji. Aku yakin, ini hanya sebuah awalan. Pujian di depan, tetapi selanjutnya ....
"Nggak perlu diragukan lagi kemampuanmu dalam mengelola bisnis. Bapak bangga sama kamu, Mas."
"Tapi ...," kataku memancing.
"Kapan kamu mau nikah? Nggak malu terus diledek sama keluarga seperti kemarin? Bapak malu, Mas. Kamu itu sudah cukup usia. Apa jangan-jangan ... benar kamu nggak suka sama perempuan?"
"Kenapa Bapak mikirnya sejauh itu, sih?" Aku berdiri, mendekat ke dinding kaca, sedikit memberi ruang pada diri sendiri. Pertanyaan macam apa itu? Aku mendengkus kesal.
"Dari dulu Bapak perhatikan, kamu belum pernah pacaran. Masa kalah sama adekmu. "
Dari SMA aku sudah punya pacar, Pak! Bapak saja yang tidak tahu. Sekarang pun aku sudah punya pacar, meski hubungan kami sedang tidak baik-baik saja. Lagian, pacaran itu bukan pertandingan. Tidak perlu dibanding-bandingkan.
"Jagad masih fokus sama perusahaan kita, Pak," kataku beralasan. Ah, andai saja aku bisa memperkenalkan dia pada keluarga. Sayangnya, aku terlalu takut.
"Perusahaan sudah stabil, bahkan terus berkembang setiap tahunnya. Sudah nggak ada lagi alasan buat kamu untuk menunda pernikahan!"
Benar-benar malas kalau sudah membahas masalah pernikahan. Hubunganku dengan kekasih tercinta saja belum sempat diperbaiki. Sekarang, Bapak malah datang mencecar. Sudah beberapa kali perdebatan seperti ini terjadi di antara kami. Hasilnya? Tidak ada. Debat kusir yang tidak pernah ada ujung pangkalnya. Aku lebih memilih bungkam daripada harus terus bertengkar.
Aku sengaja menyibukkan diri di kantor, sekalian memberi sedikit waktu pada kekasihku untuk menenangkan diri. Kalau sampai tiga hari belum membuka blokir, aku akan segera menemui dia. Sumpah, tak bisa jauh dari dia.
"Bapak akan segera carikan istri buat kamu."
Ucapan Bapak membuatku tergemap. Yang benar saja, ini tahun berapa?! Jagad Wangsa Tranggana, bukan pria yang tidak laku di pasaran sampai harus dijodohkan segala. Aneh! Kalau hanya soal wanita, banyak yang sudah menyatakan cinta. Masalahnya, aku hanya cinta sama dia.
"Tidak perlu, Pak. Beri Jagad waktu. Jagad mau cari calon istri sendiri."
"Bapak nggak bisa nunggu lama-lama. Bapak kasih kamu waktu satu bulan. Kalau nggak dapat, kamu harus ikuti rencana Bapak."
Perdebatan terhenti sesaat ketika Aluna mengantarkan minuman. Aku kembali duduk, menghadap Bapak yang tengah meniup kopinya. Kuperhatikan, kali ini Bapak benar-benar serius dengan ucapannya.
"Pak, Jagad minta waktu dua bulan, ya? Cari istri juga tidak bisa sembarangan, 'kan? Tidak mungkin kita asal comot, harus mempertimbangkan banyak hal. Jagad janji, kalau dua bulan tidak bisa menemukan calon istri, Jagad nurut sama rencana Bapak." Kucoba bertutur selembut mungkin agar Bapak bisa setuju.
"Ya, sudah. Dua bulan, Mas. Nggak lebih." Bapak menyesap kopinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Love for Unperfect Man
RomanceCinta yang tak biasa adalah kalimat paling tepat untuk menggambarkan kehidupan asmara Jagad. Hidup dengan ketampanan dan kekayaan, tidak lantas menjadikannya pria sempurna. Dia berpindah dari satu hati ke hati lainnya, hingga takdir mempertemukan de...