Is This Blind Love?

82 9 5
                                    

Pada awalnya, arti kehidupan bagiku adalah kegelapan. Dimulai dengan kecelakaan tragis yang mengharuskan ku merelakan sepasang indra milikku tak berfungsi. Semua seakan direnggut detik itu juga dariku. Warnaku, senyumku, bahkan kebahagiaanku.

Kedua orangtuaku tak pantang mundur demi mendapat senyumku kembali, berbagai cara mereka dapatkan berharap agar kedua sudut bibirku terangkat. Aku melewati ribuan waktuku dengan menyendiri, membiarkan rembesan itu keluar tanpa perlu kuusap. Aku, benar-benar hancur. Aku sudah menjadi tidak berdaya.

Saat merasa di titik terendah, Tuhan seperti memberi uluran tangan dengan membawanya padaku. Seseorang yang tidak pernah terpikir akan berada di sisiku hingga detik ini. Seseorang yang walau belum pernah sekalipun kulihat parasnya maupun senyumnya. Seseorang yang hanya dapat kudengar candanya, suaranya, musiknya. Seseorang dengan kedua tangan kokoh nan lembutnya menopang berat tubuhku, merengkuhnya dengan segala kelembutan dan kehangatan. Seseorang yang siap menerimaku dengan segala kekurangan yang telah melekat. Seseorang yang siap memberikan berjuta kebahagiaan demi menghapus satu kesedihanku. Ya, lelaki dengan menyandang nama Mark Lee.

"Hyuck, aku ingin kita berakhir sekarang."

Bohong jika aku tidak merasakan sakit. Berharap yang kudengar tadi adalah kesalahan atau hanya tipuannya yang lain, tapi kalimat itu benar-benar menghancurkan aku kembali.

"Maksudmu?"

Bahkan aku sendiri begitu jelas mendengar suaraku yang bergetar. Yang selama ini belum pernah kudengar.

"Ya, aku ingin kita berpisah."

Aku mendengar suaranya begitu jelas, dalam, dan dingin. Tidak, aku masih merasakan sesuatu yang melekat pada suara itu. Dia masih Mark yang sama dengan segala tingkah konyolnya. Aku dapat merasakan itu, ada sisi lain dari suara itu. Aku yakin, Mark tidak akan mungkin mengatakannya.

"Tapi, kenapa? Apa alasanmu meminta berpisah? Semalam bahkan kita tidak berdebat apapun, apa yang salah denganmu?!"

"Hanya satu. Aku, tidak pernah mencintaimu."












Aku tidak perlu menjelaskan lagi. Ia pasti dapat melihatku menangis. Salah satu hal yang paling ia benci. Lalu apa yang bisa ku perbuat? Memukulnya? Bahkan walau aku tahu ia berdiri tujuh langkah dari hadapanku, tangan ini tidak akan tega melayang ke arahnya.

Dalam keterdiamanku, indra penciumanku menangkap bau yang sangat tak asing. Kedua tanganku segera meraba udara sembari berjalan maju perlahan. Dalam benak berharap bahwa instingku salah. Dan ketika tanganku meraba kain di hadapanku, segera saja kugenggam tangannya sembari berbisik.

"Aku sangat tahu kau tidak pandai berbohong. Dan aku sangat tahu, kau begitu tulus mencintaiku. Kalimatmu tadi, aku sangat-sangat tidak memercayainya."

"Pergilah dari hadapanku, Hyuck. Kuharap kau tidak pernah bertemu denganku lagi,"

"Tidak! Jangan mengatakan itu!"

Tanpa menunggu lagi, kedua tanganku merengkuh tubuh jangkungnya, mendekapnya dengan erat.

"Daddy! Sudah hentikan! Tidakkah kau mengerti? Hanya dia sumber kebahagiaanku. Apakah kau juga akan merenggutnya dariku seperti tuhan lakukan padaku sembilan tahun silam?!"

Aku begitu hapal bau ini. Bau yang begitu melekat pada Daddy. Bau dari alat yang terpajang di tiap sisi dan sudut ruang kerjanya.

"Maaf, Sayang. Tapi untuk kali ini, aku tidak dapat membiarkanmu dibodohi calon pembunuh ini lagi."

Aku mendengar pelatuk itu telah ditarik mundur, dan dengan segera tubuhku di dorong menjauh. Detik selanjutnya, bersamaan dengan jatuhnya tubuhku, suara tembakan terdengar begitu nyaring.

"TIDAK!!"

Aku merangkak sembari meraba tanah untuk menemukan sebuah tubuh yang sudah tersungkur dengan cairan kental mengalir deras dari lubang di belakang kepalanya. Aku mengerang keras sembari memanggil namanya, berharap ia menjawab panggilanku.

"Kau bisa membenciku, Sayang. Tapi alasanku melakukan semua ini karena si bajingan itu yang menyebabkanmu hampir merenggang nyawa dan berakhir mengambil penglihatanmu. Aku tidak akan pernah memaafkan bocah ingusan bodoh ini memiliki anak kesayanganku."

Suara pantofel itu menjauh. Meninggalkanku sendirian bersama jasad kekasihku yang semalam bahkan baru saja menyematkan cincin dengan ukiran namaku dan namanya.

Aku tahu, aku sudah tahu sejak awal bahwa penyebab kecelakaan itu adalah Mark. Dan aku sudah mau berdamai dengan masa lalu agar siap menerimanya. Aku tidak ingin lagi terpuruk, tidak ingin lagi terlihat menyedihkan. Aku hanya ingin bahagia, membangun keluarga kecil di pinggir kota, menikmati masa tua dengan dikelilingi cucu, hanya bersama Mark.

Apa yang harus kulakukan sekarang? Sinar harapanku sudah dipadamkan sendiri oleh Daddy. Sendiri. Apa mereka dapat diterima? Apa aku dapat menjaga mereka? Jawab aku Mark....

Markhyuck's LibraryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang