Holyday

67 4 0
                                    

"Ah!"

Langkahnya terhenti kala alat inderanya menangkap sebuah suara samar. Bahkan acara meminum bubble-nya pun ikut berhenti. Ia pun menggendikkan bahu, beranggapan mungkin salah dengar atau hanya perasaannya. Kemudian ia kembali melanjutkan langkahnya,

"Ungh, awh ssshh-"

Dan kembali berhenti. Memastikan kembali suara yang tadi sempat ia dengar. Nihil. Lorong putih tulang berlantai marmer itu kosong. Dengan sedikit gusar dan takut, ia kembali melanjutkan perjalannya sampai ketika sebuah suara kembali terdengar.

"Argh! Markhh-"

Baiklah. Sekarang bukan hanya tubuhnya yang berdiri kaku, seluruh badannya merinding sebab suara lirih nan samar itu semakin jelas. Bahkan, tangannya pun ikut bergetar hebat hingga minuman yang ia bawa sedikit bercecer. Ia merutuki dirinya karena tidak kunjung berlari pergi meninggalkan lorong itu. Namun percayalah, bernafas saja rasanya sangat berat.

Dan setelah merapalkan seluruh doa dalam benaknya sembari memejamkan mata erat, dengan kepayahan ia mengangkat kakinya meninggalkan lorong horor itu setelah mendengar teriakan sekejap yang mampu membuatnya berlari ketakutan sembari memanggil papanya.

🔞

"Pagi, Ten hyung. Bagaimana kabar Hendery? Maaf semalam aku tidak sempat ikut makan malam," ujar lelaki tinggi berparas manis yang menghampiri pria bertubuh mungil tengah menyiapkan sarapan di dapur.

"Pagi, Winwin. Tidak masalah, aku tahu kau sedang disibukkan oleh para muridmu. Ngomong-ngomong tentang Hendery, ya... Dia sedang tergila-gila dengan menjadi relawan. Itu sebabnya ia tidak di sini." Ten tersenyum teduh sembari memotong bahan masakan.

"Biar ku bantu," Winwin langsung menyambar sebuah celemek yang tergantung di punggung kursi lalu memakainya. Kemudian keduanya melanjutkan acara masak-memasak ditemani curhatan-curhatan khas para 'istri' di pagi hari.

"Ah, Winwin-ie! Sejak kapan kau datang?" yang merasa terpanggil menoleh, melihat sosok lelaki berparas tegas namun terlihat cantik masuk lewat pintu dapur yang tersambung oleh taman belakang. Lelaki itu tersenyum riang menghampiri dua orang yang tengah bergelut dengan acara memasaknya.

"Baru saja, Taeyong Hyung. Kemarilah, coba kau cicipi masakan Chef Ten hyung ini." yang dibicarakan memerah malu mendengar pernyataan Winwin.

"Tentu saja! Oh iya, meja makan sudah ku tata, dan semuanya juga sudah ku bangunkan. Tinggal melihat saja, siapa yang benar-benar bangun," Taeyong kemudian menerima sesendok saus yang Ten buat, dan langsung diangguki antusias olehnya. Mengisyaratkan masakannya telah sempurna.

🔞

"Selamat pagi, Paman Jaehyun, Paman Johnny, Ayah, Jeno." seorang lelaki baru saja mendudukkan diri di samping bangku Jeno.

"Renjun, dimana adikmu? Biasanya dia yang akan bangun lebih awal," lelaki yang ia panggil papa itu pun angkat bicara.

"Benar juga. Baiklah, akan kupanggil Nana dulu," kemudian ia kembali bangkit untuk menuju ke kamar adik kecilnya yang terletak bersebelahan dengannya.

"Makanan datang..." ujar Ten sembari membawa semangkuk sup, Winwin dan Taeyong yang membawa senampan piring  berisi steak, lalu Haechan —yang akhirnya ikut bergabung walau sedikit telat— dengan membawa minuman. Mereka pun akhirnya duduk di tempat masing-masing dengan sebuah kursi kosong di samping Haechan.

"Haechan-ah, dimana Mark?" pertanyaan itu meluncur dari Johnny.

"Mandi. Dia telat bangun, aku menyuruhnya untuk membawa Chenle sekalian,"

"Dimana Renjun, Jeno?" Taeyong bertanya setelah melihat ada kursi kosong lain di sana.

"Dia sedang memanggil Nana, Pa. Mungkin sebentar lagi kembali," Taeyong mengangguk paham mendengar jawaban Jeno. Lalu seluruh piring disajikan diiringi kedatangan Mark yang menggendong pangeran kecilnya. Tentu saja disambut sangat hangat dan riang kala cucu pertama Johnten dan Jaeyong itu datang.

Markhyuck's LibraryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang