"Kau suka?" Anne bertanya sembari menopang dagu. Menyaksikan Nelda yang sedang menikmati sup dengan segenggam roti di tangannya.
Gadis berkemeja cokelat berhias ikat pinggang kulit menggantung longgar tersebut mengacungkan ibu jari sebagai jawaban. "Sangat! Tapi ... dagingnya hanya sedikit, ya."
Setelah mendengar tanggapan dari Nelda, Anne melirik pada Avasa lalu tertawa terbahak-bahak.
Lelaki di hadapannya mengernyit, menahan malu. "A-aku telah berusaha! Lagi pula, sekarang kalian, para pemburu kelas kakap, kan, sudah bangun! Pasti bisa memburu lebih banyak dari ini!" Ia menggerutu.
"Padahal bukan itu maksudku." Nelda menarik napas, "Aku hanya tidak suka karena terlalu banyak wortel daripada daging."
"Omong-omong tentang wortel, Paman Kafabi sering mengirimkan banyak ikat sayur itu pada ibu. Apa semuanya karenamu?" tanya Anne, menatap Nelda penuh interogasi.
Nelda memalingkan wajah, bersusah payah menelan roti dalam mulut kemudian memajukan bibirnya. "Jazziel, kan, suka wortel. Bukannya bagus kalau aku meminta pada ayah untuk mengirim banyak sayur oranye itu pada keluargamu, Anne?"
"Jazziel suka karena pernah melihatmu memakannya saat istirahat di kelas bertarung, Nel," ujar Anne sembari menepuk kening, "apa saat itu kau terpaksa menghabiskannya juga?"
Tak bisa mengelak, Nelda dengan cepat menganggukkan kepala. Membuat Anne mau tak mau menghela napas dengan pasrah.
Nelda tidak suka wortel, adiknya suka. Adiknya mengira kalau sang Honesto Knight menyukai wortel, padahal gadis bersurai hitam legam tersebut melahapnya karena terpaksa. Sungguh miris. Anne tidak akan pernah memberitahukan hal ini pada Jazziel, bisa-bisa pupus harapan anak itu jika mengetahui bahwa selama ini ia bertolak belakang dengan idolanya.
"Sudah selesai makannya?" Avasa menatap Nelda yang masih sibuk menyeruput sisa sup dari mangkuknya.
Begitu selesai, Nelda mengusap sekitar mulutnya dengan kain yang diberikan Anne lalu mengangguk antusias.
"Aku tidak percaya justru kalian berdua tampak lebih sehat dibanding perkiraan mixere itu," lirih lelaki tersebut. Maniknya melirik bergantian pada dua sahabat perempuannya.
Serempak, Anne dan Nelda saling pandang. "Kau tidak merasakan sesuatu, Nel?"
"Hmm ... aku hanya merasa pusing saat bangun. Setelah itu malah perutku sangat keroncongan, jadi aku tak memikirkannya lagi," sahut Nelda.
"Sama denganku."
"Kau juga keron-"
"Bukan bagian itu. Aku juga merasakan pusing saat baru bangun." Anne memotong perkataan Nelda dengan cepat dan penuh penekanan.
"Wajar saja. Kalian, kan, jatuh dari atas pohon. Bisa dilihat sendiri pohon di sekitar sini setinggi apa."
Begitu Avasa berucap demikian, Anne dan Nelda lantas mendongakkan kepala. Lelaki itu benar. Pohon-pohon di sini ternyata lebih tinggi dari dugaan mereka. Jauh lebih tinggi.
"Tunggu sebentar ... kita ada di hutan??" tanya Nelda dengan raut wajah yang cukup mengagetkan.
"Sudah kuduga kau akan jauh lebih lama memproses segalanya saat baru bangun," ujar Avasa. Setelahnya, lelaki itu kembali mengucap mantra pengendali angin karena suasana di sekitar mereka mulai membuatnya menggigil.
"Maaf, deh, Tuan Bangun Lebih Awal," Nelda berkata dengan ketus, "tapi, kenapa kita dijatuhkan di hutan, ya? Apa tidak ada jalan lain daripada menelusuri hutan?"
Iya juga. Anne hampir saja lupa soal bagian itu. Kenapa Ratu Cornellia mengirim mereka ke tengah hutan?
"Ah!" Tiba-tiba gadis bersepatu kulit cokelat tersebut menyadarinya. Jawaban yang mudah, seharusnya Anne bisa tahu tentang itu hanya dalam sekejap.
KAMU SEDANG MEMBACA
KLASIK: Sayatan Misteri
FantasyAnne, seorang peri remaja bermanik cokelat yang piawai dalam memanah itu harus menjalankan sebuah misi besar bersama teman-temannya atas perjanjian dengan sang ratu. Membuat ia terlibat dengan berbagai pihak, berbagai macam kehidupan, dan yang palin...