10 - Fokus, Anne!

124 23 24
                                    

"Apa?! Sir Gerald itu Honesto Nature?!" Nelda berseru tak percaya saat Dhieren memberitahukannya pada mereka di ruang makan istana.

Kini, mereka berempat sedang sarapan bersama anggota kerajaan lain di ruang makan tersebut sebelum kembali menjalani pelatihan. Sedangkan Ophelia berkata bahwa dia ingin kembali ke kamar dulu.

"Dia benar, sih. Makanya aku sangat antusias memperhatikan orang itu," kata Avasa, "lalu, katakan. Kau tahu dari mana soal ini? Bukannya tak pernah aku bicarakan padamu?"

"Aku langsung tahu saat melihat tumbuhan yang menjerat Anne. Dia membesarkan tumbuhan itu dengan baik dan dapat mengendalikan ukurannya. Hanya seorang nature yang bisa begitu." Dhieren menjelaskan sambil melahap kentang rebus yang ada pada piringnya.

Nelda menenggak segelas jus jeruk sebelum berkata, "Kau tahu banyak hal, ya, Dhieren. Apa aku melewatkan kelas yang menjelaskan tentang nature ini?"

Anne menggeleng saat mendengar pertanyaan Nelda. "Tidak, Nelda. Aku juga tidak tahu tentang kemampuan nature yang satu itu."

"Aku hanya kebetulan menemukan buku yang dikoleksi oleh ibuku di ruang kerjanya. Dia begitu ingin menjadi Honesto Librarian di istana." timpal Dhieren. Anne, Nelda, dan Avasa spontan menatap teman mereka yang satu itu.

Ibu Dhieren memang sudah lama tak ada, sejak dia masih kecil. Kini dia hanya tinggal bertiga saja dengan ayah dan adiknya di Desa Peri Artem. Jika bisa dibilang, menghilangnya ibu Dhieren sungguh misterius, masih menjadi tanda tanya besar yang belum terungkap.

"Maaf, Dhieren. Sepertinya ini bukan topik yang ingin kau bicarakan sekarang ...." Anne yang merasa tidak enak pun meminta maaf karena dia tahu perasaan sahabatnya.

"Tak apa, Anne. Itu sudah lama, aku dan keluargaku juga sudah merelakan ibu. Lagi pula, ayah jadi sering mendapat pesanan lukisan di benua-benua lain hingga dia dan adikku jarang sekali ada di rumah. Kecuali saat pemanggilan namaku dan upacara kemarin, ayah kebetulan sedang diliburkan dari pesanan di Benua Ceilwen," jelas Dhieren.

"Benua Ceilwen? Benua kecil yang isinya hanya ada sekolah sihir itu?" Avasa menggenggam gelasnya erat-erat, sedikit terkejut dengan perkataan Dhieren.

"Sekolah sihir?" Nelda bertanya dengan raut wajah yang kebingungan. Anne terdiam kemudian ia mengepalkan tangannya. Ada lagi saja topik tentang manusia.

"Iya. Sekolah sihir yang muridnya hanya berisi anak-anak manusia keturunan penyihir. Sekolah itu cukup terkenal di benua-benua lain."

Anne meletakkan alat makannya dengan kasar setelah mendengar penjelasan soal sekolah sihir dari Dhieren.

"Bodohnya mereka. Mereka pikir bisa mengalahkan kita, para peri yang bahkan tidak perlu menggenggam apa pun-itu-namanya untuk merapalkan mantra??" ejek gadis itu sembari melipat tangan.

"Tapi ... dari buku yang aku baca pada koleksi ibuku, peri memiliki batasan jumlah mantra yang bisa dihafalkan. Sedangkan penyihir, mereka tidak memiliki batasan," lirih Dhieren, berusaha agar tidak terdengar menentang Anne.

"Apa?!" Anne menggebrak meja ruang makan. Membuat para anggota kerajaan yang lain kaget dan memfokuskan pandangan pada mereka berempat.

"Anne, tenanglah ...," bisik Nelda. Ditariknya lengan pakaian sang sahabat untuk kembali duduk dengan tenang.

Anne menurut meskipun masih dalam keadaan hati yang kesal.

"Omong kosong. Memang apa spesialnya para penyihir itu? Kenapa mereka bisa tak punya batasan?"

"Dengar, Anne. Penyihir punya satu benda yang menjadi titik terang kekuatan mereka. Namanya tongkat sihir." Avasa melipat kedua tangannya sembari menatap Anne, memberikan jawaban.

KLASIK: Sayatan MisteriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang