Pukul 10.30 Dira berlarian di koridor kampus dengan tergesa-gesa. Hari ini Dira tidak mengikuti pelajaran mata kuliah pertama karena harus pergi ke restaurant terlebih dahulu. Kemarin malam setelah acara makan-makan yang mereka lakukan Dira pulang dengan keadaan sedikit mengantuk hingga dirinya baru sadar dompet miliknya masih ada di rumah Arjun. Ingin kembali namun hujan turun begitu deras.
Berbicara tentang hujan Dira jadi teringat pria angkuh yang sedang tidak beruntung itu. Awalnya Dira memang ingin berbaik hati menolongnya, namun tanggapan pria tersebut membuatnya kesal. Tapi tidak apa-apa, dengan begitu Dira bisa mendapatkan ongkos untuk pulang.
Ah ya, ingatkan Dira untuk memberikan bingkisan terimakasih kepada mas Agus yang berbaik hati memberikan tumpangan untuk Dira tadi pagi. Mas Agus adalah anak dari bu Resti, pemilik kos-kosan yang Dira tinggali. Mas Agus lebih dewasa dua tahun di atas Dira dan pria itu sudah bekerja. Arah kantor dan restaurant yang searah membuat mas Agus dengan suka hati membantu Dira.
"Sindy, pak Setyo belum dateng ya?" tanya Dira setelah mendudukan bokongnya di kursi kelas. Sindy menoleh kemudian menjawab Dira dengan melirik bangku dosen yang masih kosong.
"Tadi kok kamu nggak masuk? Ada tugas dari bu Diyah suruh rangkum modul halaman 144 sampe 149 terus di buat mind mapping." Sindy menjelaskan sambil memberikan sebagian catatan yang dia miliki. Dira tersenyum senang, dengan semangat mengambil catatan Sindy untuk di foto. Foto saja dulu, salinnya belakangan.
"Makasih Sindy bawel."
"Udah di kasih masih ngatain aku ya kamu !"Sindy memukul kepala Dira dengan pulpen yang sedang dia pegang. Dira tertawa senang, meledek Sindy memang hobinya.
"Kamu belum jawab aku loh Dir."
Dira menoleh ke arah Sindy,"Oh iya, itu- kemarin dompet aku ketinggalan di rumah Arjun. Jadi aku ke restaurant dulu buat ambil dompet."
Sindy tersenyum penuh arti, mencolek lengan Dira dengan ujung pulpennya.
"Stt.. siapa tuh Arjun ? Cieee gebetan baru yaa? Cerita dong, diem diem aja ah sebel." Sindy sambil memainkan kedua alisnya naik turun. Dira menghela nafas, mendorong kening Sindy menggunakan jari telunjuknya.
"Arjun itu barista di tempat kerja aku, aku juga kesana nggak sendiri ya."
"Ahh Dira bisa aja. Pokoknya di tunggu kabar baiknya ya"
Sungguh Dira ingin memukul Sindy hingga gadis itu terpental ke alam lain. Kenapa Sindy suka sekali menggodanya. Dira kan malu ...
"Selamat siang."
Suara berat dari arah pintu kelas membuat Dira dan seluruh teman kelasnya terkejut. Dengan cepat mereka kembali ke tempat duduk masing-masing meninggalkan kegiatan tidak penting mereka demi melihat pria tampan berambut hitam legam di depan kelas ini.
Pria itu tersenyum cerah, wajahnya yang tampan di tambah tubuhnya yang tinggi membuat mahasiswi terpukau dan para mahasiswa meruntuk kesal.
"Perkenalkan saya Bagaskara, kalian bisa panggil saya pak Bagas saja. Jangan panggil saya pak Gas karena saya bukan tabung gas dan jangan panggil saya pak Kara karena saya bukan santan kelapa sasetan." Ucap pria itu yang dibalas tawa cekikikan dari muridnya.
Dira menatap Bagas dengan tatapan yang menelisik. Seingatnya Dira tidak asing dengan wajah itu, Dira pernah bertemu tapi dia lupa dimana. Dira meruntuki otaknya yang lemah pada ingatan alias pikunan.
"Saya disini jadi dosen pengganti ya karena pak Setyo di pindah tugaskan sementara.-"
"Karena ini adalah hari pertama saya mengajar di kampus ini dan saya baru pertama masuk ke kelas kalian, saya absen satu-satu. Nama yang saya panggil tolong angkat kakinya."
KAMU SEDANG MEMBACA
SCELTA
ChickLitScelta memiliki arti pilihan. Andira hanya bisa menghela nafas frustasi ketika kehidupannya yang tenang terusik oleh dua pria menyebalkan dari keluarga Hendrawan. Brama sebagai bos besar yang banyak mau dan Bagas sebagai dosen si tukang perintah. "...