Prolog

211 45 43
                                    

“Kamu mengidap Glioblastoma multiforme.”

“Glioblastoma? A-apa itu?”

“Jenis kanker yang tumbuh dan berkembang di sistem saraf pusat, yaitu otak atau sumsum tulang belakang. Ini merupakan jenis kanker ganas yang berkembang secara agresif dan termasuk ke dalam tumor atau kanker otak stadium empat. Tumor itu, yang menyebabkan rasa pusing dan mualmu.”

Gadis cantik berponi, mengerjapkan matanya. Lidahnya kelu, terasa sulit untuk mulai bersuara. Bagaikan di sambar petir di tengah cuaca panas, di siang hari. Dokter paruh baya di hadapannya kini menatapnya sendu. “Safa, mari lakukan operasi.”

Safa Alzena—di diagnosa penyakit Glioblastoma. Rasa mual dan pusing yang selama ini dia anggap masuk angin, atau maag ternyata lebih parah dari kedua hal itu.

“Dengan operasi saya bisa sembuh?”

“Pada tingkat ini, penyembuhan memang sudah sulit untuk dilakukan. Meski begitu, perawatan tetap bisa dilakukan, untuk memperpanjang angka harapan hidup dan meredakan gejala yang terjadi.”

“Saya tidak mau di operasi.”

Sang dokter terkejut mendengar penolakan pasiennya. “Jika tanpa operasi, waktumu hanya tinggal tiga sampai empat bulan. Dan selama itu juga, kamu tidak akan bisa hidup normal. Kamu mungkin menderita kelumpuhan, gangguan bicara, dan gangguan kognitif. Itu cukup berisiko.”

“Maksud dokter, saya akan mati?” Safa meremas ujung roknya.

Dokter menghela nafas “Iya.” Ucapnya tegas, matanya terus menatap lurus pada gadis yang masih di bawah umur.

Safa tersenyum kecut, air matanya sudah menumpuk di pelupuk, berusaha dia tahan agar tidak menetes. Permainan macam apa lagi yang akan Tuhan mainkan di hidupnya, tidak cukupkah dengan kehancuran keluarganya? Haruskah Tuhan juga mengambil satu-satunya nyawa yang dia miliki tanpa memberikannya kesempatan untuk merasakan bahagia. Kenapa harus selalu rasa sakit? Satu tetes air mata meluncur, susah payah dia tahan agar tidak keluar di hadapan sang dokter.

“Saya akan beri tahu Ayahmu, ini sudah sangat parah. Tidak bisa kamu sembunyikan,” Hanna —dokter itu berbicara selembut mungkin.

“Jangan! Dokter bukan Tuhan, yang bisa memvonis berapa lama manusia akan hidup. Hidup dan mati, omong kosong macam apa ini? Kedua hal itu hanya Tuhan yang tahu. Seorang dokter hanya bertugas menyelamatkan, soal hidup dan mati tetap Tuhan yang menentukan.”

“Safa—”

“Jangan beri tahu Ayah. Dan saya tidak ingin menjalani operasi.” Safa bangkit dari duduknya “terima kasih atas waktunya dokter, saya permisi.” Safa melangkah pergi, mengabaikan panggilan dokter Hanna dia marah dan kecewa pada takdir Tuhan. Tapi pantaskah, dia marah pada Tuhan yang maha besar? Safa benci kehidupan. Dengan air mata yang terus mengalir, dia berjalan menyusuri lorong sepi rumah sakit, tatapannya kosong.

To Be Continue :)

Hai Abi! (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang