7. Masih Di Bawah Umur

66 14 15
                                    

Abi tiba di rumah Safa, pukul 8 pagi. Di sambut oleh Mang Jimin satpam yang setia menjaga di rumah itu “Pagi Mas,” sapa Mang Jimin.

“Pagi Mang, aman kan semalam?” Abi turun dari motor, membuka helm dan tersenyum ramah.

“Tenang wae Mas, selama ada Jimin semua pasti aman.” Dengan bangga Jimin menepuk dadanya.

“Alhamdulillah,” ucap Abi “masuk dulu ya Mang?”

“Baik, silakan Mas. Mbak Safa mungkin masih tidur, tadi saya bikin kopi masih sepi.”

Abi masuk ke dalam, pintunya tidak terkunci. Dia langsung naik ke lantai satu menuju kamar Safa, di ketuknya kamar itu berulang kali tapi tidak ada jawaban. Akhirnya Abi meraih kenop pintu dan terbuka, kok nggak di kunci sih? tanya Abi dalam hati.

“Fa...” panggil Abi, memasuki kamar dia lihat tidak ada Safa di atas ranjang. Abi beralih ke kamar mandi, di sana pun tidak ada. Dia mulai panik, mencari di seluruh penjuru kamar, gadis itu tidak ada.

Abi meraih ponselnya di dalam saku, dan menghubungi nomor Safa. Terdengar bunyi ponsel di atas meja belajar, shit! kemana dia?

Abi bergegas menuruni tangga, mencari di seluruh ruangan tapi tidak dia temukan. Akhirnya Abi menghampiri Mang Jimin “kenapa Mas? Kok mukanya sangar gitu?”

“Mang Jimin gimana sih, katanya aman tapi kenapa Safa nggak ada di kamarnya?” ujar Abi alisnya kini saling bertautan.

“Loh kok bisa?” Mang Jimin kebingungan.

“Kenapa tanya saya, kan Mang Jimin yang jaga.”

“Waduh!” Jimin menepuk Jidatnya “kenapa bisa kecolongan gini ya? Apa mungkin Mbak Safa keluar pas saya lagi mandi Mas.”

“Emang udah mandi?” tanya Abi.

“Lah udah toh Mas, wangi gini kok.”

“Tapi kok masih belekan,” ledek Abi tersenyum jahil.

“Hah? Beneran?” Jimin langsung mengeluarkan kaca, Abi menggelengkan kepala dan kembali memasuki rumah.

“Loh Mas, mau kemana? Nggak di cari Mbak Safa?”

“Tunggu di dalam aja Mang, ntar juga pulang.”

•••

Safa pulang, dengan bingkisan di tangannya. Dia terlihat segar, lengkap dengan pakaian jogging yang membungkus tubuhnya dengan pas. Dia melihat Mang Jimin yang tertidur, gadis itu menggelengkan kepala “masih pagi udah ngorok aja. Satpam kebluk,” ujarnya.

Di halaman rumah terparkir motor Abi, Safa tersenyum dan bergegas ke dalam rumah. Dia menemukan Abi yang sedang menonton kartun anime di televisi. Safa berlalu begitu saja, tanpa menyapa. Gadis itu berjalan menuju dapur.

“Dari mana?” tanya Abi tanpa mengalihkan pandangannya dari televisi, menahan langkah kakinya. Safa berhenti sejenak “jogging” jawabnya sambil lalu “sekalian beli sarapan,” lanjutnya. Safa mengeluarkan sebungkus nasi uduk, dia bangun pagi hanya karena ingin memakan nasi uduk Bu Sidah, yang terkenal di kompleksnya.

Abi bangkit, menyusul Safa ke dapur. Gadis itu sedang menyiapkan piring dan sendok, membuka bungkusan nasi uduk. Aroma bawang goreng langsung tercium, Safa terlihat sehat dan ceria pagi ini.

“Lo mau? Gue belinya cuma satu.”

Tidak menjawab, Abi justru melangkah dan duduk di samping Safa. Meraih kening Safa, memastikan panasnya sudah turun.

“Kamu oke? Aku khawatir” tanya Abi, pake aku-kamu. Safa mengedipkan mata, Abi membuatnya salah tingkah.

“Apaan sih Bi, kan udah gue bilang kalau gue cuma masuk angin. Buktinya nggak apa-apa kan? Gue sehat lagi.”

Sedetik, Abi terdiam menatap Safa dan menghela nafas lega “oke, jadi lo bisa sembuh secepat ini?”

Safa mengangguk, “lo pulang aja. Kan gue udah baikan.”

“Lo ngusir gue?”

“Nggak. Gue, nyuruh elo pulang, bukan berarti gue ngusir dong” Safa memasukkan kembali suapan yang ketiga, di bawah bibirnya ada sebutir nasi, Abi mengambilnya membuat Safa berhenti mengunyah dengan susah payah menelan makananya.

“Santai aja makannya, nggak ada yang bakal ngambil makanan lo” bisik Abi.

Mata mereka bertemu, Abi bahkan mulai mendekatkan wajahnya. Menatap bibir Safa yang berwarna pink alami. Jantung Safa berdebar. Nafas mereka mulai terasa satu sama lain, Abi terus mendekat berusaha menghapus jarak. Tapi saat sudah sangat dekat, Safa langsung menjitak kepala Abi “Aww...” Abi meringis.

Safa segera menarik diri, “masih di bawah umur! Nggak boleh macam-macam” Kilah Safa. Dia kembali melakukan aktivitas makannya yang sempat terhenti. Wajahnya terasa panas, dia dan Abi hampir saja berciuman.

“Galak amat sih Fa, gue dua bulan lagi tujuh belas tahun kok.” Ujar Abi, saat ini dia terlihat konyol. Ucapannya hanya menutupi perasaan gugup dan malu karena di tolak Safa.

“Lo pikir ini Amerika, bisa main sosor aja!” Safa mendelik.

“Ini bukan tempat umum, kenapa di samakan dengan Amerika?”

“Sejak kapan teman boleh ciuman?” Safa menatap Abi tajam.

Abi membalas tatapannya tidak kalah tajam “gue nggak pernah mau jadi teman lo,” desis Abi “dulu, atau pun sekarang. Gue —”

Hoek...
Perkataan Abi terpotong, karena rasa mual menyerang. Safa berlari, menuju wastafel memuntahkan makanannya. Abi dengan sigap membantu Safa, cowok itu mengusap pelan punggung Safa. Memijit pundaknya, sampai Safa mengeluarkan seluruh isi makanan pagi ini yang baru saja dia makan.

Selesai memuntahkan makanan, Safa terkulai lemas. Dia beralih pada Abi, yang menghapus keringat di keningnya “lo nggak jijik?” tanya Safa.

Abi menggeleng, “kita ke rumah sakit.” Abi kembali mengajak Safa ke rumah sakit. Safa kebingungan, dia harus bagaimana karena tidak mungkin menolak.

“Gue... sendiri aja berobatnya.”

Abi mengerutkan kening, “nggak! Lo harus pergi sama gue.”

“Abi —” Safa memikirkan cara agar bisa mencegah Abi untuk membawanya ke rumah sakit. Tapi tidak ada alasan apa pun yang terlintas di otaknya.

“Nggak ada alasan lagi Safa.”

“Gue nggak mau ke rumah sakit! Gue takut di suntik.”

“Mana ada orang masuk angin di suntik.”

“Gue masih punya obat, jadi gue nggak perlu berobat. Gimana kalau hari ini kita jalan?” Safa berusaha mengalihkan, agar Abi tidak membawanya ke rumah sakit.

“Tapi lo lagi sakit Fa.”

“Gue sehat. Kalau lo nggak mau, gue ajak Dea aja.”

“Iya, iya, iya. Gue mau. Tapi, lo beneran nggak apa-apa kan?”

“Bawel banget sih Abi! Gue udah bilang, gue nggak apa-apa. Lagian kalau kenapa-napa kan ada elo,” Safa mengulum senyum.

“Lo masih ngerasa aman sama gue?”

“Lo tunggu sini, gue mandi dulu” tanpa menjawab pertanyaan Abi, Safa  melangkah pergi untuk mandi.

“Fa,” panggil Abi.

“Apa lagi sih Bi?” Safa menoleh malas.

“Naik motor nggak apa-apa?”

“Nggak masalah,” jawab Safa cuek dan berlalu pergi.

Dasar cewek! Kemarin dia nolak pas gue ajak pulang naik motor. Lah sekarang malah santai aja, padahal dia tahu kalau gue bawa motor, batin Abi.

To Be Continue :)

Hai Abi! (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang