11. Safa Mau Melakukan Operasi

68 12 2
                                    

Kini Safa berdiri didepan sebuah rumah bercat putih, menatap ragu antara masuk atau tidak. Karena selama mengenal Abi, Safa tidak pernah sekali pun berkunjung ke rumahnya. Akhirnya Safa memutuskan untuk menunggu di tangga bawah, posisi rumah Abi diatas dia kembali menuruni anak tangga. Tangannya terasa dingin, udara diluar juga tidak baik untuk tubuhnya, tapi dia tetap menunggu kepulangan Abi.

Setelah satu jam, Abi tidak muncul juga. Dia ingin menghubungi cowok itu tapi tidak tahu nomornya, konyol sekali bukan? Tidak tahu nomor pacar sendiri. Suara motor membuat Safa mengangkat kepala, hatinya bersorak saat Abi turun dari motor dan berjalan mendekat.

“Safa! Lo ngapain disini?” tanya Abi, dia khawatir.

“Nungguin pacar,” jawab Safa manja. Dia langsung memeluk tubuh cowok itu, menghirup aroma tubuh Abi.

“Diluar dingin Fa, kenapa lo nggak masuk aja sih? Lo kan lagi nggak sehat.”

Safa melepaskan pelukan, dia menatap Abi “lo udah tahu kan kalau gue ini sakit?”

Abi mengernyit, “ya tahu dong sayang, kan yang jagain lo kemarin gue” tutur Abi.

Safa menggeleng, “dokter bilang hidup gue udah nggak lama lagi,” Safa tersenyum sedih.

“Gue nggak peduli,” kali ini Abi menatap Safa dengan wajah pucat.

Safa terdiam dengan bibir bergetar, mendengar pernyataan Abi “gue sekarat Bi, gue udah mau mati.”

Abi terdiam, membiarkan Safa terus bicara.

“Lo berhak dapatkan yang lebih baik,” lanjutnya.

“Gue cuma mau lo,” rahang Abi mengeras “jangan ngomong yang lebih baik, nyatanya bagi gue elo yang terbaik Fa.”

Safa menunduk, air matanya terbendung di pelupuk. “Ayo putus. Gue nggak mau lo sakit, saat gue nggak ada lagi di dunia ini.”

Abi menarik Safa, dan memeluknya. Menenggelamkan wajahnya di bahu cewek itu, “gue nggak mau putus. Please izinin gue buat selalu ada disamping lo, apa pun yang terjadi,” bisik Abi parau.

Air mata Safa akhirnya luruh, dia menangis dalam pelukan cowok itu. Pandangan matanya kosong, Abi mengusap punggungnya berharap bisa meredakan tangis.

“Nggak apa-apa. Gue bakalan tetap disamping lo sampai akhir,” bisik Abi “lo harus sembuh Safa, jadi Ibu dari anak-anak gue dan bangun disamping gue setiap pagi,” lanjutnya.

Perkataan Abi, malah membuat tangis Safa semakin menjadi. Tubuhnya semakin bergetar, hati Safa terasa sangat sakit. Bagaimana bisa Abi berkata tentang masa depan pada orang yang sekarat.

Abi melepaskan pelukan, memegang kedua bahu Safa. “Jangan bilang putus lagi, selamanya” Abi menekankan kata itu.

Safa mengangguk lemah, dengan pandangan menunduk. Abi menaikkan wajah Safa, agar sejajar dengan wajahnya. Dia menghapus bekas air mata yang kini menghiasi wajah Safa, Abi tersenyum.

“Yuk!” Abi menarik lengan Safa, mengajaknya naik memasuki rumah.

Safa langsung menarik diri “eh ngapain?”

“Ketemu camer,” jawab Abi santai.

“Abi apaan sih? Gue nggak mau!”

“Lo nggak mau ketemu mereka?”

“Ma-mau. Tapi nggak sekarang.”

“Kenapa sih?”

“Lo nggak lihat penampilan gue hari ini? Wajah gue, udah kaya sapi nggak mandi satu bulan” tutur Safa.

Abi terkekeh, dia mendekati wajah Safa dengan jarak yang begitu dekat. Safa jadi harus menunduk, agar tidak terjadi insiden first kiss.

“Lo tetap cantik walau pun abis nangis, jadi siapa yang berani bilang lo kaya sapi? Lagian mana ada sapi kurus,” Abi menahan tawa.

“Abi ihh!!!” Safa mencubit pinggang cowok itu, Abi yang berusaha menghindar namun gagal kini kembali memeluk Safa.

“Anterin gue pulang,” rengek Safa.

Abi mengurai pelukan dan menatap Safa, kali ini lebih intens. Dengan keadaan Safa yang masih memeluk pinggangnya, membuat Abi perlahan mendekatkan wajah. Abi menaikkan sebelah alisnya, meminta persetujuan. Hingga Safa mengangguk, dan tanpa berpikir lagi Abi mencium bibir Safa, Safa yang belum siap membolakan matanya.

Perlahan, Abi bukan hanya mencium bibirnya saja. Di melumat, mengecap rasa manis. Safa semakin erat meremas kaos cowok itu. Dan malam itu, mereka melakukan first kiss dibawah jalan menuju gerbang rumah Abi. Tanpa mereka sadari, ada yang tersenyum di balik pagar, menyaksikan keduanya yang saling berpagutan.

•••

Safa memasuki kamar, dengan jantung yang berpacu. Dia bersender pada pintu, menyentuh bibir dan mengunci pintu. Gadis itu melangkah menuju cermin full body, menatap dirinya di pantulan cermin itu. Dia memejamkan matanya dan setengah berteriak, “gimana gue menghadapi dia besok?” tanya Safa pada pantualan dirinya di cermin.

Safa menunduk, dan darah menetes ke lantai. Awalnya sedikit, namun lama-lama semakin deras. Dia mendongak, menatap dirinya di pantulan cermin yang kini telah berlumuran darah.

“AYAH!” Teriak Safa, langsung terdengar Ayahnya mengetuk-ngetuk pintu. Karena pintunya terkunci.

“Safa buka pintunya, ada apa?!” teriak Bima.

Safa melangkah menuju pintu hendak membuka kunci, namun tidak sampai, rasa pusing menyerangnya dengan hebat. Akhirnya gadis itu pingsan sebelum mencapai pintu.

Bima yang panik, karena Safa tidak kunjung membuka pintu akhirnya mendobraknya, saat pintu terbuka Safa sudah tergeletak tak sadarkan diri, wajahnya di penuhi banyak darah.

“Safa! Safa bangun Nak,” Bima menepuk pelan pipinya berharap Safa sadar. Namun Safa tetap tidak bergeming. Akhirnya Bima membopongnya keluar.

“BI! BIBI!!!” panggil Bima, teriakannya kali ini sangat kencang. bisa di bilang, Bima tidak pernah bersuara kencang saat memanggil siapa pun.

Bi Nenah keluar dari kamarnya, ikutan panik saat melihat Safa yang tidak sadarkan diri “Bapak, ada apa ini? Mbak Safa kenapa?”

“Safa pingsan, saya mau bawa dia ke rumah sakit. Bibi jaga rumah, Safa pasti harus dirawat inap. Besok pagi, tolong bawakan baju ganti untuk Saya pagi-pagi sekali ya.”

“Ba-baik Pak,” Nenah menunduk patuh namun hatinya tidak tenang melihat majikannya “Pak! Saya ikut aja ke rumah sakit,” protesnya menghentikan langkah Bima.

“Yang jaga rumah siapa?”

“Ada Jimin Pak,” jawabnya.

Bima berdehem “yang antar baju saya siapa besok pagi Bi?” Bima mulai gemas “sudah, pokoknya Bibi di rumah aja. Besok pagi bawakan saya baju ganti.”

“Baik Pak.”

•••

Sampai di rumah sakit, Safa langsung di tangani oleh dokter Hanna. Setelah memasuki ruang ICU, Safa di pindahkan ke kamar rawat inap.

“Bagaimana keadaan anak saya dok?” tanya Bima.

“Tubuhnya kelelahan, sepertinya akhir-akhir ini Safa sering berada diluar. Padahal baru tadi sore, dia kontrol dan saya sudah resepkan obat untuknya.”

“Dia baru saja pulang, saya tidak tahu apa yang dia lakukan diluar. Tapi... dia baik-baik saja kan?”

“Tubuhnya mulai melemah Pak, kemungkinan terburuk akan menyerang mata dan kepalanya. Kanker itu terus berkembang, tolong coba kembali bujuk, agar dia mau melakukan operasi,” dokter Hanna menjelaskan perihal penyakit yang diderita gadis itu.

“Ayah...” suara lemah itu mengalihkan keduanya.

“Safa, kamu sudah sadar. Ayah khawatir sekali, jangan bikin Ayah takut sayang,” Bima mendekat dan mengusap kepala Safa lembut.

“Ayah, Safa mau melakukan operasi,” bisiknya lemah dan tersenyum.

To Be Continue :)

Hai Abi! (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang