8. Kesempatan

64 14 19
                                    

Safa turun dari kamarnya, baju yang dia kenakan berwarna sama dengan hoodie yang di kenakan oleh Abi, warna biru dongker. Abi berdehem, tapi Safa cuek saja, gadis itu malah mengambil segelas air dan memberikannya pada Abi.

Alis Abi terangkat, dia tidak mengerti menatap segelas air putih yang di sodorkan oleh Safa "gue nggak minta minum," ujarnya.

"Tenggorokan lo seret? Ya minum, biar enakan."

Abi terkekeh, "oke fine. Thank you," meski merasa konyol atas persepsi gadis itu, Abi tetap menerima dan meminumnya "lo sengaja pake baju warna itu?" tanya Abi.

"Lo nggak suka?"

"Suka, suka. Ya udah, ayo jalan." Abi berjalan mendahului Safa, yang mengekor di belakangnya dengan membawa helm, helm yang sudah satu tahun tersimpan manis di dalam kamarnya. Karena sejak kepergian Abi, Safa tidak pernah lagi naik motor. Dia rindu, hanya saja enggan untuk kembali dekat dengan Abi. Tapi kali ini, bolehkah dia menikmati harinya bersama Abi? Hanya hari ini saja.

Abi menaiki motor, dan memakai helm. Safa menyusul, dengan perasaan deg-degan dia naik. Tanpa banyak bicara, Abi menarik tangan Safa untuk melingkar di pinggangnya.

"Peluk aja jangan ragu, gue bukan Abang gojek," ujar Abi.

Karena Safa tidak ingin terus berdebat, maka dia nurut saja. Toh bukannya dulu juga mereka sedekat ini? Tidak ada yang berubah dari cowok itu, dia masih baik dan perhatian padanya.

Abi tersenyum, melihat tangan Safa yang melingkar di pinggangnya. Hatinya terasa hangat, hari ini dia harus mengungkapkan semuanya.

Safa menikmati angin yang meniup rambutnya, dia merasa bahagia. Meski siang itu cuaca panas, tapi tidak membuat gadis itu kepanasan, dia malah menikmatinya. Hanya dengan Abi, dia selalu suka apa yang mereka lakukan.

•••

Abi mengajak Safa ke taman bermain, menghabiskan waktu bersama, menaiki banyak wahana. Safa terlihat sangat sehat dan bahagia, padahal Abi tahu gadis itu sedang sakit. Tapi anehnya sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa Safa sakit. Meski begitu Abi tetap merasa khawatir, karena Safa pintar menyembunyikan rasa sakitnya. Sampai hari mulai gelap, Safa mulai kelelahan. Dia meminta Abi untuk berhenti menaiki wahana.

Mereka istirahat sejenak, Abi membawa Safa ke atas tower, yang biasa di pakai para pendatang untuk menikmati keindahan kota. Di atas tower mereka bisa melihat seluruh wahana, Safa terlihat sangat bahagia, begitu juga dengan Abi.

"Makasih ya, gue senang banget hari ini" ucap Safa.

"Gue juga, thanks lo udah kasih gue kesempatan" Abi menoleh pada Safa yang kini arah pandangnya tertuju pada sebuah lampu-lampu yang terlihat indah.

"Hari ini aja..." bisik Safa.

"Maksud lo?" Abi mengernyit.

"Mulai besok, jangan temui gue. Di sekolah, di rumah, atau di mana pun kalau kita ketemu, anggap kita nggak pernah kenal."

Deg.

Kalimat yang muncul dari bibir gadis itu begitu sangat mulus, membuat Abi semakin tidak mengerti. Haruskah seperti ini? Bukan ini yang dia harapakan, melainkan kejujuran Safa atas penyakit yang dia derita.

"Why?" hanya kalimat itu, yang bisa keluar dari mulut Abi. Walau sebenarnya dia sangat ingin meneriaki gadis di hadapannya. Tapi dia ingin membuat Safa tetap nyaman bersamanya.

"Gue nggak mau, kejadian satu tahun lalu, terjadi lagi di kemudian hari." Jawab Safa, sendu.

"Gue nggak akan pergi lagi," bisik Abi, dia sudah memutuskan bahwa dirinya akan selalu berada di samping gadis itu apa pun yang terjadi.

Hai Abi! (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang