3. Satu Alasan

88 29 31
                                    

Pulang sekolah Safa menunggu jemputan di taman depan gerbang sekolah, di kedua telinganya terpasang headset seperti biasa. Matanya terpejam, menikmati alunan musik.

Sebuah motor berhenti tepat di hadapannya, tanpa Safa sadari, Abi si pengendara motor itu turun dan melepas sebelah headset nya. Safa langsung membuka mata, kedua matanya bertemu dengan manik mata milik Abi. "Apa?" Safa terlihat malas, dia melepas headset sebelahnya yang masih terpasang, dan mengambil pasangannya yang disodorkan Abi.

"Ayo pulang bareng!" ajak Abi.

Safa melirik motor yang terparkir di depannya, "gue nggak suka naik motor." Jawab Safa ketus, Abi mengernyit, jawaban Safa membuatnya heran. Karena dulu Safa sangat menyukai berkendara motor dengannya setiap pulang sekolah.

"Bukannya lo paling suka naik motor? Lo bilang anginnya bisa bikin mood lo baik," tanpa mencerna Abi langsung protes.

"Berhenti ngebahas soal dulu, dulu dan dulu. Perubahan, semua itu pasti terjadi. Satu tahun Abiii, bukan waktu yang sebentar untuk gue bisa berada di titik ini." Safa memalingkan wajah, air matanya membendung di pelupuk. Entah kenapa mengingat kondisi penyakitnya serta kerinduannya pada Abi, membuatnya sangat sesak. Safa ingin menyambut hangat kedatangan cowok itu, Safa ingin berlari dan memeluknya. Tapi semua itu tertahan karena kondisinya.

"Cuma satu tahun Fa, gue emang salah waktu itu. Kalau lo mau, gue bisa tebus waktu satu tahun yang hilang itu. Kasih gue kesempatan, buat ada di samping lo lagi." Abi meraih tangan Safa dan menggenggamnya, "gue mohon," lanjutnya.

Safa melepas genggaman tangan Abi "sorry, jemputan gue udah datang." Safa kembali meninggalkan Abi, cowok itu menatap punggung Safa yang semakin menjauh.

"Abi! Kok lo belum pulang?" suara cempreng itu, Abi mengenalnya. Stella kini sudah berada di belakangnya, gadis itu melihat motor Abi yang terparkir dan tersenyum "ya ampun, apa jangan-jangan lo nungguin gue ya? Nggg... Abi sweet banget sih. Gue mau kok pulang bareng lo," Stella bergelayut manja di lengan Abi.

Abi berusaha melepaskan tangan Stella, wajahnya terlihat sangat kesal "ekspetasi lo tinggi banget sih, waras dikit nggak bisa? Nggak usah geer jadi cewek." Abi berhasil melepas tangan Stella di lengannya.

"Ihh Abi!" Stella menghentakkan kakinya dan berteriak dengan nada manja. Membuat Abi benar-benar jijik dengan cewek itu.

Abi langsung menaiki motornya, namun Stella menghalangi jalannya. Dia merentangkan tangan, didepan motor Abi "Minggir Stella!" Bentak Abi.

"Enggak! Lo harus anterin gue pulang." Stella keukeuh.

Abi menghela nafas, "Ya udah. Ayo naik!" perintah Abi membuat Stella senang. Stella pun mulai melangkah mendekati jok belakang, ketika jalannya sudah tidak terhalang lagi Abi langsung pergi meninggalkan tempat itu. Stella yang tidak menduga hal itu akan terjadi, berteriak marah "Sialan Abi, lo ngerjain gue!"

"Abi berhenti!"

"Abi gue sumpahin lo nabrak kucing ya!" makinya.

"Eh jangan, kasian, ntar mati kucingnya" ujarnya pada diri sendiri.

"Gue sumpahin lo masuk jurang deh!" teriaknya lagi, tapi dia langsung memukul mulutnya "astagfitullah Stel, lo jahat banget. Jangan gitu, kalau Abi masuk jurang ntar mati, gimana? Lo nggak bisa ketemu Abi lagi dong." Stella meracau, tanpa dia sadari dirinya sudah menjadi bahan tontonan para penghuni SMA Usaka.

•••

Safa memasuki kamar, dia menemukan Bima -Ayahnya yang sudah duduk di tepi ranjang, menatapnya melalui cermin. "Ayah, tumben jam segini udah dirumah." ujar Safa tanpa curiga.

Mendekati keberadaan Ayahnya yang membelakangi, Safa memutari Ranjang dan berhadapan dengan Ayahnya. Sebuah amplop cokelat berada di atas meja belajar, amplop berisi tentang rekam medisnya. Safa menelan ludah, dia ingat amplop itu berada dalam laci yang aman, tapi kenapa tiba-tiba berada di sana? Dengan cepat Safa meraih amplop itu, kembali memasukkannya ke dalam laci.

"Kenapa kamu nggak pernah cerita sama Ayah kalau kamu sakit?" pertanyaan Bima seketika membuat Safa mematung. "Ayah sudah lihat isi dari amplop itu." Bima menatap putri sematawayangnya dengan wajah sendu.

Safa membalikkan badan dan tersenyum, "Aku sehat Yah. Lihat!" Safa memutar badannya dan tersenyum.

"Ayah juga sudah hubungi dokter Hanna, dia membenarkan rekam medis itu Safa. Kamu mengidap penyakit berbahaya,.dan sudah stadium empat. Apanya yang sehat?"

"Aku sehat Ayah. Aku nggak suka Ayah tatap aku seperti itu. Meski dokter memvonis aku, dengan umur yang sudah tidak lama lagi, tapi semua itu tidak bisa dibenarkan! Dia bukan Tuhan!"

"Kita harus segera melakukan operasi, kenapa kamu menolak Nak? Ayah bukan pria kere yang tidak bisa membiayai operasi kamu-"

"Aku tahu. Aku tahu uang Ayah banyak, tapi aku nggak mau di operasi. Nggak mau Yah!"

"Jangan takut Safa, tolong kuat dan berani demi Ayah. Kamu tahu, Ayah cuma punya kamu. Ayah nggak bisa kehilangan putri Ayah. Setelah Bunda ninggalin Ayah, apa Ayah juga harus kehilangan kamu? Please sayang, jangan hukum ayah lebih dari ini." Tatapan sedih Bima membuat pertahanan Safa runtuh, akhirnya dia menangis di pelukan Ayahnya. Menumpahkan segala rasa sesak yang selama ini harus dia hadapi.

•••

Abi menghentikan motornya di depan rumah Safa, tanpa berniat turun dari motornya. Dia hanya menatap rumah itu dan menghela nafas, memikirkan bagaimana agar Safa mau memberikannya kesempatan agar mereka bisa kembali dekat.

"Mas Abi!" suara Bik Nenah pembantu rumah Safa memanggilnya. Abi terkejut karena memang dirinya sedang melamun tadi.

"Walah-walah beneran kan Mas Abi. Bibi kira, tadi, Bibi salah lihat. Tapi ternyata benar, Masuk Mas! Ngapain bengong di situ?"

Abi jadi salah tingkah, pasalnya dia ketahuan bengong di depan rumah orang. Abi turun dari motornya dan menghampiri Bik Nenah yang berada di dalam gerbang "Lama nggak ketemu, Bibi sehat?" Abi menyalami Nenah dengan sopan, sama sekali tidak memperlakukannya seperti pembantu.

Nenah gembira dan sangat menyukai Abi, karena selain memiliki wajah tampan Abi sangat ramah dan sopan "Alhamdulillah Mas, Bibi sehat. Gimana Mas Abi sebaliknya? Bukannya Mas Abi di Amerika ya? Tapi kok itu seragam sekolahnya sama kaya Mbak Safa?"

"Iya Bi, Abi baru aja pulang. Nggak betah di Amerika, banyak bulenya, Abi nggak suka" canda Abi.

"Loh pie toh Mas? Bule itu kan cantik-cantik, masa Mas Abi nggak suka" ledek Nenah.

"Masa sih cantik Bi? Yang lokal lebih cantik," Abi tertawa.

Nenah ikut tertawa "Bibi tahu kalau soal itu Mas. Pasti maksud Mas Abi, Mbak Safa lebih cantik toh?"

Abi tertawa lepas, dia memang sudah akrab dengan Bi Nenah sejak dulu. Bahkan bukan hanya dengan Nenah saja, dengan para penghuni rumah ini termasuk orang tua Safa.

"Malah ketawa toh Mas. Yowis, ayo masuk. Mbak Safa ada kok di dalam. Kebetulan Bapak juga sudah pulang, kalau Ibu sih udah nggak di rumah sekarang Mas."

"Nggak dirumah? Kenapa?" Abi mulai penasaran.

"Ibu sama Bapak udah cerai Mas."

"Cerai?" Abi terkejut mendengar kabar seperti itu, inikah alasan Safa menjadi lebih diam dan mengasingkan diri?

"Mas! Kok malah bengong lagi sih," suara Bi Nenah membawanya kembali untuk sadar.

"Maaf Bi, Abi nggak jadi mampir. Mama dirumah nyuruh pulang nggak tahu ada apa, nanti, lain waktu Abi kesini lagi. Abi Pamit ya Bi, Asalammualaikum."

"Waalaikumsalam. Mas Abi hati-hati kalau gitu."

Abi hanya mengangguk, dan segera melesat pergi meninggalkan rumah Safa. Satu kabar telah dia dengar, hari ini cukup untuknya. Secara bertahap Abi akan cari lagi apa yang terjadi dengan Safa, selama satu tahun ini.

To Be Continue :)

Hai Abi! (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang