PART 11

423 48 16
                                    

Saat ini hanya ada Arkhan dan Mak Ipah di ladang. Rasa kesal masih menyelimutinya karena harus melihat Aruna dan Samir pergi berdua menuju pengepul sayur. Hasil panen hari ini cukup memuaskan.

Arkhan menghembuskan napas kasar sembari mengusap peluhnya. Mak Ipah paham betul, pemuda di hadapannya ini tertarik pada Aruna.

"Silahkan diminum dulu nak Arkhan." Mak ipah menyodorkan secangkir teh manis yang ia bawa dari rumahnya sejak pagi tadi.

"Terima kasih mak."

Suasa sore hari ini terasa hangat dan sejuk secara bersamaan. Semburat merah mulai terlihat diufuk barat, matahari mulai malu-malu terbenam perlahan. Hening, hanya ada suara kicauan burung yang bersautan dan kepakan sayapnya yang terdengar merdu, mengisi kekosongan diantara keduannya.

"Kau menyukai Aruna?"

Pertanyaan itu mampu membuat jantungnya berdegub.

Arkhan tersenyum tipis, "Eumm... tapi dia begitu jauh."

Mak Ipah mengangguk. Tentu ia paham betul bagaimana perilaku Aruna selama ini. Jelas trauma itu masih ada dan nyata.

"Bian beruntung punya ibu seperti Aruna. Begitupun sebaliknya. Aku tidak terkejut jika memang Aruna sudah menutup hati untuk siapapun karena hidupnya sudah sempurna memiliki malaikat kecil yang tampan." ujarnya dengan senyum getir yang tersirat.

"Sesungguhnya Bian sangat malang. Ia tidak pernah bertemu dengan ibu kandungnya. Nasib begitu kejam pada keduanya."

Arkhan mengerenyitkan dahinya. Kepala desapun pernah berkata demkian.

Mak ipah memejamkan mata,"Hidupnya begitu menyakitkan. Banyak kehilangan yang telah dia rasakan. Hingga saat ini, dia belum bisa lepas dari emosi masa lalunya." lanjutnya.

"Apa yang sebenarnya terjadi?"

Mak Ipah tersadar dari lamunanya, "Bukan kapasitasku untuk menceritakan ini." Ia bergegas merapihkan gelas dan termos air miliknya.

"Sudah, lebih baik kau segera pulang. Sebentar lagi Adzan berkumandang."

*****

Cahaya rembulan menerangi malam dengan sangat sempurna. Sayup terdengar suara binatang malam yang saling bersautan menemani malam Arkhan di bukit Tedong. Bukit kecil yang menjadi pemisah antara dua pulau. Tempat ini cukup bagus untuk mencari sinyal.

"Iya, aku bertugas di Long Panghai."

....

"Untuk apa? Bukannya hari ini kau pulang? Tugasmu baru saja berakhir kan?"

Tutttt....

Arkhan terlihat bingung bercampur kesal karena sambungan teleponnya terputus. Daerah ini sangat sulit untuk mendapatkan sinyal.

Ponselnya kembali berdering. Bukan, itu bukan kakaknya. Ia benci menerima telepon ini. Sungguh. Tapi... Ah, sudahlah. Sesekali mengangkatnya tidak masalah.

"Hallo, Mas?" suara lembut seorang wanita terdengar menyapa diujung sana.

"Hmm... ada apa?" jawab Arkhan sekenanya.

"Bagaimana kabarmu? Sangat sibuk ya?"

Lagi-lagi Arkhan hanya berdehem menyauti.

"Aku setiap hari selalu mengirim pesan. Bisa kah kamu membalasnya walau hanya satu kata? Aku ini calon istrimu, aku hanya ingin tahu kabar tentangmu." suara lembut itu bertanya dengan sangat hati-hati.

Arkhan tersenyum kecut, tak berniat untuk menjawab apapun.

"Baiklah, hati-hati ya. Aku menunggumu kembali." Suaranya kini terdengar parau, "I love you..."

Arkhan hanya mengangguk acuh dan mematikan teleponnya.

Ia masih tidak bisa menerima perjodohan ini. Perempuan itu adalah sahabatnya sekaligus anak dari teman orang tuanya. Mereka sudah dijodohkan sejak kecil dan baru 1 tahun terkahir ini ia mengetahuinnya. Arkhan kira wanita itu akan menolaknya namun ternyata diam2 selama ini wanita itu menaruh hati padanya.

Terlalu konyol menurutnya, bukankah manusia berhak memilih pada siapa mereka jatuh cinta dan dengan siapa mereka menghabiskan hidup mereka kan? tapi kenapa takdirnya seolah sudah direncanakan oleh orangtuanya. Dari mulai memilih pendidikan, pekerjaan, hingga jodoh.

"Huft..." Arkhan menghembuskan napasnya berat. Pernikahannya tinggal menghitung bulan. Begitupun dengan tugasnya disini. Semua akan selesai dan kembali. Entah kenapa ada rasa seolah tak ikhlas meninggalkan tempat ini.

"Apa aku benar-benar tertarik dengan wanita itu?"

*****

Waktu telah menunjukan pukul sebelas malam. Pria berbadan tegap itu masih setia berdiri di samping jalan dengan tas besar yang menggantung di bahunya serta sebuah senter yang menjadi satu-satunya sumber penerangannya saat ini. Sudah satu jam tapi belum juga ada tanda-tanda orang yang melintasi jalanan ini.

Matanya berbinar tatkala ia melihat lampu mobil menyoroti dirinya. Semoga tidak ada penolakan. Ia melambaikan tangan.

Mobil pick up itu tehenti.

"Apakah kau menuju Long Panghai?"

"Betul, silahkan masuk!"

Tanpa aba-aba pengemudi itu mempersilahkannya masuk. Ia sudah tidak asing, banyak orang yang mengandalkan truck angkutan seperti ini untuk menuju desa karena tidak adanya angkutan umum.

"Namaku Deva."

Pengemudi itu tersenyum tipis, "Aku Samir."

Selama perjalanan keduanya saling bertukar cerita hingga tak terasa waktu telah menunjukan pukul tiga dini hari. Mereka baru saja tiba di Long Panghai. Perjalanan yang cukup melelelahkan memang.

"Terima kasih ya Samir. Aku ada sedikit hadiah untukmu."

Samir menatap ragu amplop putih itu pasalnya amplop itu terasa lebih tebal dari yang biasa orang berikan untuknya.

"Tapi ini terlalu banyak sepertinya."

"Ah, tidak apa-apa. Anggap hadiah kebaikanmu." Samir tersenyum dan pamit untuk pergi.

Bola mata pria itu menelisik setiap pemandangan di hadapannya. Pukul tiga pagi, masih terasa dingin dan gelap. Hanya ada beberapa lampu minyak yang menggantung di beberapa sudut, cahayanya tak cukup untuk menerangi jalanan desa yang luas ini. Deva menghembuskan napas beratnya. Semoga ia bisa menyelesaikan semua urusan masalalunya.

Atas kejadian di masa lalunya ia selalu dihantui rasa bersalah. Ia bahkan tidak menikah sampai detik ini karena bayangan masa lalu terus menggelayutinya. Berulang kali Deva mendapat kecaman dari keluarganya mengenai statusnya dan keputusannya untuk tidak menikah. Keluarganya tentu kecewa, di usia senja orang tuanya jelas mengharapkan kehadiran seorang cucu.

Lagi-lagi bayangan anak kecil terlintas. Entah Dave sendiri sebetulnya tidak yakin wanita itu mempertahankan buah cinta mereka.

"Arghhh..." Deva mengacak rambutnya dengan kasar. Napasnya terdengar memburu hebat.

©®

Terima kasih yang sudah baca dan kasih vote serta komen dicerita ini.

18 Oktober 2022

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 08, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SANDIAKSARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang