PART 9

2K 199 57
                                    

"Iya, maaf aku baru ada waktu senggang. Lagi pula susah sekali sinyal di sini." Pria berkaos hitam itu menaiki perlahan setiap bebatuan yang ada di depannya. Berusaha mengambil langkah yang tepat agar tidak tergelincir.

"......."

"Terserah saja. Tetukan saja tanggalnya, aku tidak peduli," ujarnya dengan seseorang di telepon.

"......"

"Jadi ibu meneleponku hanya untuk membicarakan ini? Sudah berapa kali aku bilang, kalian saja yang atur." Pria ini masih terus berjalan keatas, mencari tempat tinggi agar sinyal ponselnya stabil. Untuk mendapatkan sinyal, kita harus berjalan 1km dari barak ke arah Utara, lalu berhenti beberapa meter sebelum perbatasan dengan negara tetangga. Daerah ini, pegunungan, cukup sulit terjangkau, maka dari itu akses pemerintah untuk membenahi desa inipun sangat sulit. Listrik saja belum merata dan bahkan hampir tidak ada.

"......"

"Sudahlah, bu. Sama saja. Ngomong-ngomong bagaimana kabar ibu dan bapak? Mas Deva sudah pulang dinas?"

"....."

"Wilayah seramba? Itu kan tidak jauh dari tempatku jaga saat ini."

©©

Bian berjalan bersama kedua temannya, dibawanya gangsing kayu miliknya. Sepertinya mereka pulang bermain. Sabtu sore Mamang paling pas untuk bermain, banyak anak desa yang keluar untuk bermain bola ataupun sekedar menikmati sore hari yang tenang tanpa tugas sekolah.

"Tupa kemana ya kenapa tidak masuk?" Tanya Awi

"Mana aku tau, bagaimana kalau kita ke rumahnya sekarang?" Timpal Bian.

"Aku tidak bisa, aku harus pergi kota. Banyak sayur yang harus dijual. Aku pergi ya, Bapakku sudah menunggu."

Walaupun si Yoris nakal dan jahil tapi dia anak yang baik. Dia selalu membantu orangtuanya memanen hasil kebun. Seminggu sekali, setiap kali libur sekolah ia pun ikut ke pasar kota untuk menjualkan hasil panen mereka.

Mereka berdua saling berpandang, "ya sudah kita berdua saja, ayok!" Ajak Awi.

Bian masih terdiam. Pandangan matanya menerawang jauh kedepan. Hampa tak terbaca,"kau kenapa Bian?"

"Bagaimana rasanya punya ayah?" Ujar Bian pelan.

"Rasanya? Eum...." Awi mengetuk-ngetuk dagunya, seolah iya sedang berpikir, "tidak ada rasanya sama sekali. Apa yang perlu dirasakan?" Jawab Awi polos.

"Kau tidak akan pernah mengerti karena kau tidak pernah berada diposisiku."

Mata Bian mulai berkaca. Sedari dulu iya selalu iri dengan teman-temannya. Bukan iri karena temannya memiliki mainan bagus atau baju baru. Iya hanya iri dengan mereka yang memiliki ayah. Bian tidak pernah berani bertanya pada Aruna lagi mengingat terakhir kali ia bertanya, Aruna memarahinya sampai hilang kendali.

"Maksudmu? Aku sungguh tidak mengerti."

"Ah, sudahlah. Berbicara denganmu percuma. Aku ingin pulang saja." Bian berjalan cepat meninggalkan Awi.

"Tidak jadi kerumah Tupa?"

"Besok saja!" Teriak Bian.

Bian berlari ke arah timur dan berhenti diatas tebing. Napasnya terengah-engah. Keringat menetes dari pelipisnya. Pria kecil berambut ikal itu menarik napas dalam dan menghembuskannya dengan kasar sebelum akhirnya ia duduk diatas bebatuan.

Pandangan matanya menerawang jauh kedepan. Banyak sekali pertanyaan yang selama ini ingin ia tanyakan. Tapi tak sampai hati.

"Ayahku ada dimana sebenarnya?"

SANDIAKSARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang