"Ck, ayo cepatlah Yoris! Kau harus minta maaf pada Bian." Tupa terus mendorong tubuh Yoris yang sedikit gemetar.
"Bagaimana kalau Bian tidak mau memaafkanku?"
"Setidaknya kau sudah mencoba. Ayo cepat minta maaf!"
"Tunggu sebentar! Jangan mendorongku seperti itu!" Yoris menyingkirkan tangan Tupa dari tubuhnya. Ia berusaha berdiri tegak dan mulai menarik napas dalam. Ia menatap sejenak Bian yang saat ini tengah berdiri dua meter di hadapannya. Ia sedikit ragu Bian mau memaafkannya, mengingat kemarin Bian terlihat sangat marah padanya.
"Ce-cepatlah!" kini giliran suara gemetar milik Awi yang mengintrupsi.
"Ck, sabarlah! Kalian ini cerewet sekali." Dengan langkah yakin, Yoris berjalan mendekati Bian diikuti juga Awi dan Tupa.
Sesampainya di samping Bian, Yoris meringis takut. Keraguan kembali menyergapnya. Bian sendiri belum menyadari kehadiran ketiga kawannya tersebut karena pandangan Bian kini tengah asik terarah pada segerombolan prajurit berseragam.
"Eum... Bian," panggil Yoris dengan suara yang amat pelan tapi masih sanggup terdengar oleh Bian.
"Eum... Anu... Bian... Eum...—" Bian menatap bingung tingkah Yoris, "Kau ini kenapa?" tanya Bian.
"Itu... A-aku... Eum...—"
"Kau ini lama sekali! Cepatlah katakan saja!" bisik Tupa dengan nada jengahnya.
"A-aku... Aku minta maaf soal perbuatanku kemarin. Maaf karena ulahku bukumu hanyut. Aku menyesal, sungguh!" Akhirnya dengan sekali tarikan napas, kata-kata yang telah ia hapal semalaman berhasil keluar juga dari bibir mungilnya.
Bian terdiam cukup lama. Tatapannya tajam menusuk membuat Yoris semakin gemetar dibuatnya. Namun detik selanjutnya, "Tak apa Yoris. Aku sudah memaafkanmu bahkan sebelum kau meminta maaf padaku."
Yoris menghelah napas lega dan tersenyum gembira, "terimakasih Bian!" Bian mengangguk dan tersenyum geli melihat tingkah kawannya ini.
"Huh, akhirnya!" ketiga bocah itu menoleh pada bocah berkulit sawo matang tersebut dan menatapnya heran, "Kau kenapa?" tanya Yoris.
"Aku sudah lega. Sedaritadi aku gemetar. Padahal kau yang minta maaf tapi aku yang gemetar sendiri." gumam Awi kecil. Sontak hal itu membuat ketiga kawannya tertawa keras.
********
Para prajurit kini tengah sibuk membantu warga Long Panghai menyiapkan acara pesta kebun untuk nanti malam. Ada yang membuat keranjang buah besar, ada yang menyiapkan kayu bakar untuk api unggun, dan ada pula yang tengah meniupi tungku perapian untuk memasak. Acara akan dimulai pukul empat dan akan terus berlanjut hingga malam hari.
Arkan memilih untuk membantu Imung Kasan, kepala adat Long Panghai, untuk membuat keranjang buah besar dari rotan yang nantinya akan diisi oleh hasil kebun warga.
"Paku habis imung?" Arkan menyeka peluh yang berada di pelipisnya.
"Taklah, masih ada banyak di meja ujung sana! Kau pergilah ambil, biar ini Imung yang pegangkan!" Arkan mengangguk dan menyerahkan rotan yang ia pegang tadi.
Arkan berjalan menuju meja yang dimaksud oleh Imung Kasan. Sesekali matanya memandangi sekeliling, betapa rukunnya masyarakat Long Panghai. Mereka berkumpul saling membantu satu sama lain demi terselenggaranya acara ini. Kaum wanita disibukan dengan kegiatan memasak sedangkan kaum pria disibukan dengan kegiatan lainnya seperti menata dan menyiapkan kebutuhan untuk acara. Rasanya sudah jarang Arkan melihat pemandangan seperti ini di kota-kota besar.
"Paman Tentara!" teriakan kecil itu membuyarkan lamunan Arkan. Ia menoleh kearah sumber suara tersebut.
"Oh... Hai, Bian!" Arkan berjalan mendekati bocah berambut ikal tersebut dan ketiga kawannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SANDIAKSARA
ChickLitKejadian sebelas tahun lalu, menorehkan luka dan trauma mendalam bagi Aruna. Kakaknya melakukan sebuah kesalahan besar dengan menjalin hubungan terlarang dengan seorang tentara berpangkat Prajurit Satu (Pratu). Kehidupan yang dikiranya akan berjalan...