3. War

324 87 0
                                    

Kecepatan tangan warganet memang tidak boleh kuragukan. Entah jari-jari mereka yang otomatis bergerak atau kecepatan berpikir mereka yang memang di atas rata-rata, tangkapan layar cerita buatanku yang padahal sudah dihapus beberapa detik setelahnya kini tersebar luas. Cerita mengentai wanita bernama Ayu, yang menjadi korban kekerasan, dan diakhiri dengan kematian sang pelaku berhasil membuat orang-orang gempar.

Lebih parah dari sebelumnya, pemikiran gila orang-orang berubah ke mana-mana.

Pendukung teori aku dapat meramal masa depan semakin besar dan meluas, membuat pendukung teori itu semua hanya kebetulan semakin menciut dan tak nampak sama sekali. Namun, teori baru yang mengatakan aku bekerja sama dengan iblis untuk membuat cerita menjadi kenyataan mulai bermunculan.

Tak berlaku untuk para polisi yang menyeretku untuk meminta keterangan. Bagi mereka, tindakanku mencurigakan, tetapi mereka pun tak memiliki alasan logis untuk menyatakan bahwa aku lah dalang di balik semua peristiwa itu. Jadi, mereka melepaskanku. Apalagi mereka tak memiliki bukti bahwa aku sengaja menyiapkan trik sedemikian sehingga sang satpam mati terbunuh, seolah-olah sebagai sebuah kecelakaan. Untungnya, aku sendiri juga tidak dipaksa untuk mengaku sebagai pelaku.

Aku kembali mematikan media sosial. Jika tidak, sudah jelas serangan pertanyaan akan menghujam akunku, mencari klarifikasi apakah benar aku bekerja sama dengan iblis untuk membuat ceritaku menjadi nyata. Walaupun aku bilang tidak, mereka pasti tak akan peduli. Aku yakin mereka akan tetap menjerumuskan tulisannya, mengatakan bahwa aku bekerja sama dengan iblis, hanya masalah pengemasan cerita saja supaya tidak terlihat memalsukan jawabanku.

Semua kegilaan ini tak pernah terpikirkan di dalam benakku. Kepalaku yang kembali berhasil berpikir rasional mulai mempertanyakan sikapku. Tak kupungkiri, kesenangan sesaat itu berhasil kuraih. Namun, bagaimana setelahnya?

Perasaanku campur aduk sekarang ini.

Rasa marah itu membuatku tak berpikir panjang. Rasa kesal yang kudapatkan saat itu memang berhasil membuatku gelap mata. Namun, sampai membuat nyawa orang melayang? Jika mereka tahu, apa yang akan mereka katakan? Sampai sekarang mereka masih menyangka jika aku mampu meramalkan masa depan, tetapi bagaimana jika suatu saat mereka tahu bahwa itu semua tidak benar? Bagaimana jika mereka tahu bahwa apa yang kutuliskanlah yang akan terjadi di masa depan?

Sampai di rumah, aku hanya dapat berteriak kencang.

Kenapa aku ini? Kenapa aku bisa bertindak bodoh seperti itu? Kenapa aku tak berpikir panjang? Kenapa dengan mudah kutuliskan cerita kematian hanya karena amarah yang harus disalurkan?

Tolol sekali!

Bagaimana jika kubuat cerita lainnya, membangkitkan seseorang dari kematian? Dalam logika yang ada sekarang ini, seharusnya orang-orang mati di ceritaku bisa hidup kembali di dunia nyata, kan?

Tidak, tunggu dulu. Itu bukan fenomena aneh lagi, melainkan tak masuk akal. Cerita fiktif yang tak masuk akal mungkin masih dapat diterima para pembaca. Namanya juga fiktif, kan? Namun, apa yang akan mereka katakan jika melihat seseorang—yang tubuhnya telah terputus menjadi dua bagian—hidup kembali setelah kupublikasikan cerita mengenai kebangkitannya?

Aku pun tak memiliki peluang untuk berpura-pura tak menuliskan itu. Sepuluh detik beredar di internet, maka tulisan itu akan ada untuk selama-lamanya. Lagipula, hal itu malah akan membuatku semakin terlihat sebagai seorang penyihir yang mampu mengotak-atik hidup seseorang. Lalu, apa yang akan terjadi setelahnya? Apakah aku akan dibakar oleh mereka?

Sekali lagi: tolol sekali!

Kutinju dahiku, kemudian mengetuknya pelan dengan sendi-sendi yang ada di antara ruas jari.

Naskah Terakhir [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang