17. Last Resort

213 59 0
                                    

Penginapan ini lagi.

Rasanya, aromanya, atmosfernya, seolah semua sudah kukenal. Ujung gedung, halaman, mobil yang terparkir, semuanya, seolah aku mengetahuinya, seolah mereka semua selalu ada di sini bersamaku. Padahal tempat ini baru kukunjungi sebanyak tiga kali.

Di luar sana, langit gelap tetap menyelimuti tempat ini. Aku sendiri tak tahu, apakah matahari pernah menyorot, setidaknya sedikit saja, gedung-gedung yang sekarang terpampang di hadapanku atau tidak. Mungkin tidak, mengingat tempat ini tak pernah kukunjungi di siang hari.

Aku melintas masuk melalui gerbang. Gedung yang sama, area parkir yang sama, semuanya terlihat tak tersentuh, bahkan semenjak dua tahun terakhir, tak terkecuali mobil-mobil yang terparkir di luar sini.

Aku mengelap salah satu kap mobil yang ada. Licin, bersih, tanpa debu, seolah-olah mobil ini baru diparkirkan di tempat yang sama selama beberapa menit. Padahal, sudah dua tahun, atau bahkan lebih, semenjak ia menetap di tempat ini.

Aku tak dapat menemukan mobil sewaanku terparkir di tempat yang sama.

Suara binatang mulai menghantui, tidak membuatku ngeri, tidak membuatku ketakutan, seolah-olah tubuhku telah resisten. Bahkan, tak hanya suara binatang, kini disertai dengan suara jeritan manusia. Kecil, jauh, tetapi melengking hebat.

Aku tidak merasakan apa-apa.

Perjalanan terus kulanjutkan, mengarah pada lobi penginapan.

Aku membuka pintu. Pemandangan yang sama dapat kulihat. Sederhana, bersisa satu sofa dan meja kayu. Di ujung sana, Sura tengah berdiri.

Ia tidak memainkan pensilnya seperti biasa. Bahkan, berbeda dengan kebiasaan sebelumnya, ia langsung menatapku tajam. Tak menyapa, tak melakukan apapun, seolah-olah ia memang sudah menunggu kehadiranku.

Dia memang sudah menunggu kehadiranku.

Aku berjalan, perlahan tapi pasti, melewati dinginnya ruangan, melewati kabur tipis di dalam pikiranku.

Adegan ini ada di dalam naskah terakhirku, tetapi hanya sampai sini saja. Selesai. Tak ada apa-apa lagi, menyisakan banyak pertanyaan untuk orang-orang di luar sana. Apa yang Tora lakukan di tempat ini?

Sejujurnya, pertanyaan yang sama juga kutanyakan pada diriku sendiri.

Apa yang harus kulakukan sekarang? Apa yang akan Sura lakukan setelahnya? Aku menuliskan ceritanya, dan sekarang semuanya menjadi nyata. Inilah cerita yang Sura inginkan. Dia tidak menginterupsi, mengubah, maupun menyentuh naskahku yang terakhir.

Ini adalah cerita yang diinginkannya.

Sekarang aku sudah berada di hadapannya, dan Sura masih belum melepaskan pandangannya padaku. Beberapa detik, hening, tanpa ada apapun di antara kami, hingga akhirnya Sura berkata, "Ya, ini akhir yang kuinginkan."

Ia menyatakannya dengan jelas, lugas, tanpa adanya keraguan. Ia benar-benar tahu apa yang kupikirkan.

Aku tak membalasnya. Namun, seolah menginginkan teman untuk diajak berbicara, Sura tak berhenti.

"Kau tahu, aku menikmatinya," katanya. "Kau tokoh yang hebat. Kebanyakan orang tidak pernah sampai pada kesimpulan ini, seberapa banyakpun petunjuk yang kuberikan."

"Kenapa kau melakukannya?"

"Berani bertanya padaku?"

"Aku tidak akan kembali ke duniaku lagi, kan?" tukasku, "Itu yang kutuliskan dalam cerita. Itu yang kau inginkan. Kalau tidak, sudah jelas kau akan menggantinya sendiri, sesuka hati. Jadi, kenapa?"

Sura tersenyum licik. "Sudah kubilang, aku suka membaca," katanya, sekali lagi. "Ya, walaupun definisi membaca yang kau miliki itu berbeda dengan definisi membaca yang kumiliki. Aku menginginkan cerita yang luar biasa darimu."

Aku masih diam.

"Kau sendiri, untuk apa kau menulis?"

Untuk apa aku menulis? Karena aku menyukainya, karena aku ingin menciptakan duniaku sendiri, karena berbagai macam alasan yang aku sendiri tak dapat menginterpretasikannya ke dalam bentuk kata.

Banyak ide di dalam otakku, tak banyak cara untukku mengubahnya menjadi kenyataan. Menulis adalah salah satu jalan keluar yang bisa kulakukan.

Apakah itu tujuan utamaku menulis? Karena aku ingin menciptakan duniaku sendiri? Dunia yang kuinginkan.

"Ya, seperti itu." Sekali lagi Sura berkata sendiri. Tak didahului apa-apa, benar-benar tahu isi pikiranku. Aku tidak terkejut lagi.

"Kau memang gila."

"Aku tidak gila," katanya. "Mungkin kalian, manusia, melihatku sebagai iblis, tetapi aku tidak gila."

Aku tak berkomentar lebih jauh, dan kini, Sura, malah menertawakanku.

"Bagaimana jika aku akan mengabulkan satu permintaanmu sebagai bentuk terima kasih? Aku harap dengan begitu, kau tidak akan marah-marah lagi."

"Dan kau ingin aku percaya kalau kau akan mengabulkan permintaanku?"

"Aku tak pernah berbohong," balasnya, langsung. "Kau boleh tidak percaya, tidak meminta permintaan apapun. Aku tidak rugi, kau yang rugi. Semuanya pilihanmu."

Sura sangat percaya diri. Dan, ya, seperti apa yang dikatakannya. Si brengsek itu tak memiliki masalah. Aku mau, dia bisa berbohong. Aku tidak mau. Lalu? Apa ruginya?

Sesuatu yang kuinginkan.

"Kau akan mengabulkan apapun permintaanku? Aku bertanya, memastikan.

"Ya."

"Tanpa terekcuali?"

"Tanpa terkecuali.

Bagaimana dengan ... hidupku kembali normal?

"Kau ingin kembali ke duniamu, melupakan bahwa semua ini pernah terjadi?" Sura segera bertanya.

Aku berpikir ulang.

Ya, aku sangat menginginkan hal itu. Aku tidak berbohong, tidak mengelak. Itupun dengan anggapan ia akan mengabulkan permohonanku.

Namun, tidak. Aku tidak bisa seegois itu sekarang. Bukankah Dilan bilang, sebelum aku, ada orang-orang yang bernasib sama denganku? Bagaimana Sura mengambil korban seenaknya, menjatuhkan mereka semua ke dalam lubang gelap dan hidup dalam kegilaan.

Ini bukan saatnya mementingkan keinginanku pribadi.

Sura semakin menyeringaikan senyumnya, seolah ia tahu apa yang sedang kupikirkan. Tidak, dia memang tahu apa yang kupikirkan, tetapi dia sengaja tak menjawabnya langsung, membiarkanku mengucapkannya dari mulutku sendiri.

Sura menungguku.

"Aku ingin kau tidak pernah mengganggu kehidupan manusia di bumi lagi. Bagaimana?"

Tak ada jaminan apa-apa. Aku tak tahu apakah dia akan memegang janjinya atau tidak, tetapi inilah cara terbaikku—setidaknya sekarang ini—yang dapat kulakukan.

Sebelumnya aku bilang aku ingin menghentikannya, bukan? Dan, ya, inilah caranya. Jika dia bilang dia akan mengabulkan seluruh permohonanku, dan memang benar tak akan pernah berbohong, maka inilah cara satu-satunya.

Menyelamatkan semua orang.

"Bisa kuatur," katanya, "Dan berapa lama kau akan menginap di sini?"

"Selamanya," kataku. "Aku akan menginap selamanya."

Sura mengambil pensil, mengambil buku tamu yang sebelumnya pernah ia sodorkan padaku. "Sudah kubilang, orang-orang senang berubah pikiran."

Naskah Terakhir [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang