Embusan angin menyapu tubuhku. Dingin yang kentara seolah menusuk tulang. Jaket kulit yang kukenakan tak mampu menahan penyesuaian suhu dan membuatku sedikit menggigil kedinginan. Untungnya, aku tidak begitu sensitif dengan dingin. Jadi, perjalanan bisa terus kulanjutkan tanpa jeda.
Selain masalah penerangan, perjalanan malam mengendarai sepeda motor memang biasanya kuhindari karena tak ingin kedinginan. Namun, aku tak ingin menyewa mobil untuk waktu yang tak kuketahui sampai kapan kuperlukan dan membayar banyak denda karenanya.
Lagipula, ketika aku sampai ke daerah jakarta, angin malam pun tidak terasa dingin. Malah, sebaliknya. Aku yang sebelumnya menggigil kedinginan tiba-tiba ingin membuka jaket, menahan keringat agar tak keluar dari tubuhku.
Aku yang tak mengetahui medan Jakarta memerlukan waktu hingga enam jam untuk sampai ke lokasi yang telah kami—aku dan Sari—janjikan. Menanyakan alamat pada orang-orang sekitar merupakan cara konvensional yang mungkin sudah sangat jarang orang lakukan. Kurasa orang-orang yang kutanyai pun bertanya-tanya: kenapa tak menggunakan GPS saja?
Walaupun begitu, sebenarnya aku pun sempat ketakutan beberapa kali. Bagaimana jika salah seorang manusia yang kutanyai itu adalah orang jahat? Bagaimana jika ia menginginkan harta berhargaku ketika aku mendekatinya? Ya, memang tak menutup kemungkinan, sih. Namun, mau bagaimana lagi, kan? Toh aku tidak membawa ponsel. Aman, kan?
Rumah makan yang Sari pilih sebenarnya cukup besar, dan aku cukup terkejut, karena di pukul sebelas malam ini, orang-orang masih ramai keluar dan masuk rumah makan. Maksudku, ya, tengah malam di beberapa titik kota Bandung pun masih ramai. Namun, tentu standar ramai itu standar yang digunakan untuk malam hari, tidak benar-benar terlihat berlalu-lalang tepat di depan mataku.
Bahkan aku sampai kesulitan mencari tempat parkir.
Aku mendapatkan lahan kosong di paling ujung. Gelap tanpa pencahayaan, walaupun tentu bukan berarti motorku akan duduk sendirian seorang diri.
Karena tak memiliki pilihan lain, aku terpaksa memarkirkannya di sana. Seorang tukang parkir sempat mengagetkanku, datang tiba-tiba sambil membantu memosisikan motor sebaik mungkin—aku masih paranoid.
Ketika aku masuk ke dalam rumah makan, benar-benar tak dapat kubedakan antara aktivitas siang hari dan malam hari. Semua orang tersenyum riang, berbicara dengan teman sepergaulan mereka di meja masing-masing. Lampu yang terang menyala seolah membuat mereka semua lupa bahwa sewajarnya manusia telah tidur di jam malam seperti ini. Bahkan, tampaknya beberapa pelayan kewalahan. Keringat mereka bisa kulihat tercetak dari seragam yang dikenakan.
Aku melewati beberapa meja, mencari sosok Sari yang jelas tak akan mudah kutemukan di tempat ramai seperti ini. Hampir menabrak pelayan, aku jadi berjalan dengan hati-hati, beberapa kali menjinjitkan kaki karena berpapasan di dalam area sempit yang dibatasi oleh kursi.
Sempat terpikirkan dalam benakku, bagaimana seandainya Sari sudah pergi—atau mungkin tidak pernah datang. Untungnya pemikiranku itu tak perlu kubayangkan lebih lanjut ketika sosoknya ada tepat di ujung penglihatanku, tengah meneguk minuman melalui sedotan, kemudian kembali tertawa bersama beberapa orang yang duduk satu meja dengannya.
Perempuan itu datang bersama tiga orang lainnya—dua laki-laki dan satu perempuan. Wajah mereka asing, kurasa aku tak pernah melihatnya seumur hidup—sampai sekarang tentunya. Mungkin temannya. Aku tidak tahu. Yang jelas, mereka tidak akan menghalangiku untuk datang ke mejanya.
Namun, Sari menyadari keberadaanku terlebih dahulu. Ia langsung menyambutku dengan senyuman dan lambaian tangan. Barulah kemudian aku berjalan mendekati mejanya. Sisa temannya hanya melihat ke arahku, kemudian terlibat dalam sebuah percakapan yang Sari jawab. Aku tak tahu apa, tapi kurasa mereka membicarakanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Naskah Terakhir [Selesai]
Mystery / ThrillerSastora adalah seorang penulis misteri ... yang seluruh tulisannya tiba-tiba berubah menjadi kenyataan.