Tenang, aman, damai, dan tentram. Setelah sebelumnya aku bergulat dengan seluruh kegilaan ruang luas nan gelap yang tak berhasil kueksplorasi, kini mataku dimanjakan dengan pemandangan lobi penginapan berhasil membuatku menarik napas panjang.
Hening, sepi, tanpa suara apapun selain detak jantungku yang berirama. Kosong melompong, seolah-olah di lobi ini hanya akulah sang penunggu yang entah sedang apa. Namun, masih di tempat yang sama, kulihat si orang tua pemilik penginapan masih memainkan pensilnya di depan meja.
Bingung, gelisah, dan penasaran. Itulah campur aduk rasa yang akhirnya kudapatkan. Kenapa tiba-tiba aku ada di sini? Kenapa tiba-tiba aku harus berada di sini? Apakah aku memang seharusnya berada di sini?
Aku tak langsung mendekati orang tua itu, tapi aku yakin ia memiliki jawabannya.
Sebaliknya, aku mencoba semakin menenangkan diri, seolah-olah ingin mengubah profesi menjadi instruktur yoga. Merasakan padatnya oksigen di dalam tubuhku, memejamkan mata dan berharap semua ini akan beres dengan segera.
Baiklah, semuanya sudah beres.
Aku berdiri, beranjak, kembali menyapa si orang tua pemilik penginapan ini.
Wajahnya tak berubah. Kumis tebalnya tak berubah. Rambut putihnya masih menempel selayaknya dahulu, ketika pertama kali aku bertemu dengannya, seolah-olah waktu tak pernah memakan usianya.
Pakaiannya, panjang pensil, semuanya. Sama persis. Aku memang suka meneliti, menanggapi dan memindai seisi ruangan, mengingatnya dalam otak, dan terkadang kembali menuangkannya dalam kertas. Namun, dengan sedikitnya benda interaktif yang bisa kedua bola mataku pilih, membuatku mengingat dengan jelas bahwa orang tua ini ... ya, dia, tidak berubah sama sekali dalam dua tahun terakhir ini.
Aku menatapnya tajam-tajam dan orang tua itu hanya tersenyum simpul, menatapku penuh kesenangan, seolah-olah aku adalah pelanggan setia yang sudah lama tak berkunjung ke tempatnya.
"Selamat datang kembali," sapanya. Pensil yang sebelumnya ia mainkan kini diletakkan di atas meja. "Ingin menginap kembali?"
Aku menggelengkan kepala.
"Lalu ada keperluan apa sampai kau kembali ke sini?"
Aku meneguk ludah, mencari serangkaian kalimat yang harus kulontarkan. Selama hampir setahun ini, ada banyak. Tidak, banyak sekali pertanyaan yang ingin kuketahui jawabannya. Berulang kali aku mencari, tetapi tak pernah berhasil.
Ada. Banyak. Sekali.
"Kalau tidak ada ...." Si orang tua itu melanjutkan berbicara, yang langsung kusergah.
Aku memotongnya. "Tunggu dulu!" kataku, berhasil membuatnya bungkam. Senyuman masih menghiasi wajahnya. "Penginapan apa ini?"
"Ini adalah penginapanku."
"Ini bukan penginapan biasa, kan?" Sekali lagi aku bertanya. Namun, benar-benar tanpa ragu, si orang tua tersebut menjawab, "Benar, ini bukan penginapan biasa."
Aku mengerjapkan mata. Orang tua ini seolah sudah belajar, sudah tahu apa yang harus ia katakan pada pelanggan seandainya pertanyaan itu mencuat.
"Penginapan apa ini?"
Si orang tua tak lagi memberikan jawaban yang sama. Punggungnya dibungkukkan, ia berusaha mendekatkan bibirnya ke telingaku.
"Kau akan tahu ketika saatnya tiba."
Bukan jawaban yang kuinginkan.
Aku tak tahu apakah aku harus memaksanya untuk menjawab atau tidak. Aku akan tahu ketika saatnya tiba, katanya. Lalu, kenapa saatnya itu tidak sekarang saja? Hal apa yang bisa memicuku untuk mengetahuinya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Naskah Terakhir [Selesai]
Mistério / SuspenseSastora adalah seorang penulis misteri ... yang seluruh tulisannya tiba-tiba berubah menjadi kenyataan.