8. Choice Millionaire

273 63 1
                                    

Setelah bertemu dengan Pak Firman, akhirnya pihak penerbit menyetujui keinginanku untuk mengganti naskah. Tentu, dengan syarat naskah itu harus selesai kurampungkan dalam waktu dekat. Tulisanku sudah molor sebelumnya, dan sekarang aku harus bergelut dengan waktu untuk menyelesaikan semuanya.

Bukan perkara mudah. Sialannya, kewajibanku mengganti naskah itu pun tak semudah apa yang kupikirkan.

Gertak sambal yang kuberikan pada Sari memang omong kosong belaka. Tulisan seburuk apapun tentu bisa kutulis, tetapi membuat tulisan buruk sepanjang ratusan halaman bisa kutulis begitu saja secara ajaib. Terkadang kau kehabisan ide, kekurangan ide, bahkan harus menambal ide-ide yang ada untuk disisipkan di beberapa bagian sebelumnya. Tentunya, kau harus membaca ulang agar cerita yang buruk itu tak jadi semakin buruk.

Padahal, aku sudah meyakinkan diri bahwa tulisan yang laku lah yang mereka inginkan, bukan tulisan yang berkualitas.

Namun, tak hanya itu. Kendala yang kudapatkan bukan sekadar ide yang semakin surut, melainkan juga tetap menjawab pertanyaan Sari yang telah ia tanyakan sebelumnya.

Bagaimana aku bisa tahu bahwa tulisanku itu tak akan berubah kembali, menceritakan kengerian yang akan terjadi di masa depan?

Jawabannya? Aku tidak tahu.

Untuk menghentikannya, sebenarnya jalanku hanyalah satu: berhenti menulis. Mungkin aku bisa membeli kebun, bercocok tanam, sengaja mengirit pengeluarkanku dari penjualan buku agar bisa kugunakan hingga lima puluh tahun mendatang. Namun, pihak penerbit bisa menuntutku karena melanggar perjanjian yang sudah kami sepakati. Jika hal itu terjadi, tabunganku tak akan pernah cukup untuk menghidupiku sampai lima puluh tahun ke depan.

Jadi, aku memang berencana untuk menulis sampai kontrak itu selesai. Setidaknya untuk beberapa tahun, itulah yang mereka inginkan. Kalau mereka ingin memperpanjang perjanjian, maka aku tinggal menolaknya.

Salah langkah dalam hidup.

Sekarang aku harus berpikir keras, bagaimana memanipulasi tulisan fiksi untuk tetap menjadi tulisan fiksi. Aku bisa menulis dengan lambat, meminimalisasi kekacauan yang akan kubuat di masa mendatang, tetapi selambat-lambatnya aku tetap harus membuatnya, dan selambat-lambatnya, aku harus menuliskannya sekencang mungkin.

Lucu, ya. Ketika dahulu aku ingin menjadi penulis terkenal, terikat dengan penerbit buku agar tak perlu repot-repot mencarinya, kemudian hidup dengan santai, biarpun aku tahu keuntungan sebagai penulis buku tidaklah besar, sekarang malah tak kuinginkan.

Aku menggaruk kepala, membiarkan beberapa helai rambut untuk rontok. Halaman yang ada di hadapanku masih kosong, padahal sudah dua hari berlalu.

Pertanyaan Sari masih menggumpal di dalam otakku. Tak ada kepastian. Tak ada jaminan. Aku tidak tahu hal buruk seperti apa yang akan muncul di dalam tulisanku. Mungkin, hancurnya bumi memang cerita terburuk yang bisa ada di dalam tulisanku, tetapi bukan berarti hal-hal buruk lainnya—yang tidak lebih buruk dari kehancuran bumi—menjadi lebih baik.

Aku menarik napas, kemudian mengeluarkannya secara perlahan. Kegiatan yang sudah kulakukan setiap harinya, setiap jamnya, bahkan mungkin hampir setiap menitnya.

Ah, dan kalau kau penasaran. Ya, aku kembali ke rumahku. Aku tak memiliki pilihan lain selain menulis, dan semua itu tak dapat kulakukan tanpa bantuan laptopku. Bedanya, jika aku biasa menuliskan cerita di kamar, bahkan terkadang sembari tidur-tiduran, sekarang aku menulis di ruang depan. Setidaknya, jika hal aneh kembali terjadi, aku bisa berlari keluar dengan cepat, memanggil semua orang, termasuk orang-orang pintar yang bisa mengusir gangguan aneh yang tak dapat manusia biasa kuasai.

Naskah Terakhir [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang