Kalau kata makanan kadaluarsa dapat diartikan sebagai makanan dingin yang ketika disantap tidak akan seenak ketika masih hangat, maka makanan yang kumakan sekarang ini adalah makanan yang telah kadaluarsa. Kunyahan pelan yang kulakukan pun tak membuat semuanya menjadi lebih baik. Adu gigi dan makanan malah membuat pipiku ngilu.
Aku dan Dilan telah mengobrol hingga dua jam lebih, dan itu pun belum selesai. Kami memutuskan untuk berpindah tempat setelah melihat restoran semakin ramai. Menyempitnya tempat kosong membuat kami berdua sama-sama merasa tak enak, apalagi di antara kami pun tak ada yang mau mengorbankan kekayaan demi makanan tambahan.
Makananku di rumah belum habis, dan Dilan sendiri tampaknya tak berselera untuk menyantap sesuatu saat ini, sehingga pada akhirnya rumahku menjadi destinasi berikutnya. Aku yang menawarkannya secara sukarela, dan Dilan menyetujui ajakanku. Jadi, kami mengendarai motor masing-masing. Tentu, aku bergerak di depan, berfungsi sebagai penunjuk arah agar ia tak tersesat.
Kami sampai tak lama setelahnya. Lebih lama dibandingkan dengan perjalananku ke restoran tadi. Macet di siang hari memang tak terhindarkan. Namun, bukan berarti molor hingga berjam-jam.
Aku masuk ke dalam rumah dan Dilan mengikutiku di belakang. Aku menyimpan kunci motor di atas meja, tetapi Dilan lebih memilih untuk menyakukan kuncinya. Mungkin agar tak lupa. Kemudian, aku memintanya untuk duduk terlebih dahulu, dan tanpa membuang-buang waktu, Dilan segera memerosotkan tubuhnya ke atas sofa empuk yang bisa kugunakan sebagai tempat tidur. Aku menawarkan minum untuknya, tetapi ia menolak. Sekarang, kepalanya tertarik dengan dua bungkus makanan yang belum kubuka sama sekali.
Dua jam percakapan yang kami lakukan sebelumnya—sebenarnya—tak melulu terpusat pada satu masalah—masalahku, melainkan juga mengenai masalah—atau bukan masalah—lain. Bahkan, menurut pengakuannya sendiri, aku tahu bahwa Dilan bekerja sebagai ilustrator lepas. Sudah empat bulan semenjak ia lulus kuliah, tetapi ia tak memiliki niat untuk mencari pekerjaan tetap sama sekali. Setidaknya hingga saat ini.
Sedangkan aku? Yang kuceritakan padanya tak lebih dari sekadar biasa. Bagaimana aku mulai menulis, bagaimana aku hidup seorang diri, memutus hubungan dengan seluruh keluargaku tanpa menceritakan musababnya, termasuk bercerita mengenai kehidupan pasca kuliahku yang penuh ketidakpastian.
Hampir sama dengan Dilan, aku luntang-lantung mencari pekerjaan. Fakta menariknya, gelar akademikku tak kudapatkan dari bidang sastra, literasi, atau apapun itu yang berkaitan dengan buku dan tulisan. Manajemen Bisnis, itulah studi yang kudalami, tetapi hampir tak pernah kutuliskan di manapun. Aku tak ingin gelar Manajemen Bisnis mengikuti namaku, membayang-bayangiku, dan sengaja kuhapuskan dari ingatan agar aku—secara tak sadar—tak pernah tahu bahwa aku pernah sekolah.
Dilan menepikan ponselnya, menyimpannya di atas meja, kemudian segera memainkannya ketika aku membawa segelas air mineral. Ketakinginannya untuk minum kutolak mentah-mentah. Melayani tamu sebaik mungkin adalah prioritas utamaku. Aku tak ingin kejadian seperti merepotkan tetangga hanya karena aku takut masuk ke dalam kamar terulang kembali. Setidaknya, aku ingin memberikan kesan baik sekarang ini.
Kemudian, kami melanjutkan percakapan yang sempat terpotong dengan perjalanan.
"Apa kau merasakan sesuatu di rumahku?"
Dilan langsung mendongakkan kepala. Layar ponselnya yang masih menyala dihiraukannya. Kemudian, ia mengadahkan kepala, melihat sekeliling langit-langit rumah, dan tentu tak lupa memastikan ada berapa kamera yang kupasang dalam satu ruangan.
"Aku harap kau tidak kebelet buang air kecil," timpalku di tengah-tengah pengawasannya, membuat Dilan langsung melemparkan tatapannya ke arahku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Naskah Terakhir [Selesai]
Mystery / ThrillerSastora adalah seorang penulis misteri ... yang seluruh tulisannya tiba-tiba berubah menjadi kenyataan.