12. Here Comes the Rain Again

233 62 0
                                    

Walaupun tidak sampai patah ataupun remuk, tulang di ruas-ruas jemariku retak. Pendarahan di dalam juga berhasil memberikan bengkak yang cukup menarik perhatian. Warna ungu di seluruh punggung tangan kananku semakin memadam, memperlihatkan warna gelap yang amat kontras dengan warna kulitku.

Tidak memerlukan perawatan khusus, memang, tetapi dokter yang kutemui menganjurkanku untuk tidak menggunakan tangan kananku secara intensif terlebih dahulu. Umurku yang tak lagi muda tak mampu memulihkan keadaan dengan cepat. Untungnya, tak adanya kegiatan berat yang harus kulakukan tampaknya tak akan menimbulkan banyak masalah untukku.

Namun, jika kugerakkan jemari di tangan kananku, artinya aku siap diserang rasa sakit yang bisa langsung melumpuhkan otak.

Aku memilih untuk mendiamkannya.

Jadi, selain menganggur dan kebingungan, sekarang aku juga sedang kesakitan.

Berkaitan dengan masalah Dilan, aku tak tahu menahu semenjak ia pergi meninggalkanku. Maksudku ... bukan benar-benar pergi atas keinginannya. Namun, ketika sadar bahwa aku telah melukai diriku sendiri, aku memintanya untuk pulang.

Aku tak sadar bahwa saat itu, aku benar-benar marah pada diri sendiri.

Bukan tanpa alasan, tentunya, tetapi kurasa obrolan kami akan semakin tak sehat jika aku dibalut emosi. Jadi, daripada meneruskan obrolan yang mungkin tak akan kutangkap dengan akal sehatku, aku memilih untuk mengakhiri pembicaraan. Selanjutnya, aku pergi ke dokter karena kebodohanku sendiri.

Lebih bodohnya lagi, aku memaksakan diri untuk mengendarai motor. Tolol, memang. Untung saja aku tidak mengalami kecelakaan.

Sebenarnya pembicaraanku dengan Dilan—menurutku—sudah memberikan sedikit gambaran mengenai apa yang terjadi padaku. Tentu, bukan berarti menjawab semua pertanyaan. Namun, setidaknya aku tahu bahwa aku tidak gila.

Ya, jika menganggap sesuatu yang lain yang seharusnya tidak dapat dimengerti oleh manusia itu bukanlah salah satu kriteria untuk menjadi orang gila, maka aku tidak gila.

Namun, seperti yang kukatakan. Sekarang, semuanya tampak lebih masuk akal.

Pertanyaannya sekarang adalah: bagaimana caraku menghentikannya?

Berdasarkan pernyataan Dilan, sesuatu memang merasukiku, memberikan kemampuan tak wajar, dan menurutnya juga mengendalikan tubuhku ketika aku memberontak. Bagaimanapun juga, sesuatu itu tak ingin aku mengakali, membodohi, dan tidak mengikuti keinginan bermainnya. Kalau sesuatu itu memiliki otak, maka dia termasuk cerdas dan gila.

Tidak ada harapan, bukan?

Sekeras apapun aku berusaha, sesuatu itu akan memplintir keadaan, tak memberikanku kesempatan. Ketika aku pikir aku sukses mengakalinya, sesuatu itu memberikan kejutan yang tak kuduga-duga.

Sesuatu itu mengambil alih hidupku secara bertahap.

Baiklah. Sekarang, tidak hanya menganggur, kebingungan, dan juga kesakitan. Sekarang aku merasa tidak memiliki harapan.

Satu minggu hampir terlewati semenjak insiden retaknya tulang jemariku, dan aku belum mendapatkan jawabannya sama sekali. Bahkan, aku mulai berpikir bahwa jawabannya tak akan datang. Sama sekali.

Kalau orang lain ada di posisiku, apa yang akan mereka lakukan?

Aku bertanya-tanya. Kenapa harus aku? Apa yang kulakukan sampai sesuatu itu memilih tubuhku untuk dirasuki?

Tak ada jawaban. Sama sekali.

Pintu rumahku diketuk, mengganggu aktivitas biasaku: diam tak bergerak, berpikir tanpa mendapatkan jawaban.

Naskah Terakhir [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang