Terpaksa Diantar (1)

417 26 2
                                    

"Bukannya mobil Papa yang satunya itu kepake Kak Ryan buat belanja bahan keperluan kafe ke mal?" protes Herlin, menyebutkan nama salah satu karyawan papanya. 

"Kamu lupa, ya, kalo Papa udah beli mobil boks kecil yang ngetem di kafe induk? Papa juga merambah bisnis jual beli kopi jenis arabica yang didatangkan langsung dari Wamena, Papua, dan jenis robusta dari Palembang. Pasarnya masih luas, berupa ratusan kafe yang nyebar di seantero provinsi ini. Sementara, supliernya masih terbatas. Makanya Papa berani beli mobil boks untuk distribusi bubuk kopi. Ryan driver-nya." 

Azwin menguraikan bisnisnya dengan antusias. Bayu menyimak, penuh minat. Jiwa dagangnya ikut bangkit.

"Kalo gitu, kenapa mobil yang ada gak dijual aja? Pemborosan!" kejar Herlin. Ia hanya mencari alasan, agar tidak perlu diantar Bayu. 

"Tadinya buat kamu, Nak. Tapi kamunya, kan, ogah belajar nyetir mobil. Kamu juga males belajar naik motor. Ya udah, Papa kasih buat Bayu aja," sahut Azwin dengan santainya. Seolah-olah yang diberinya itu hanya mobil-mobilan.

"What?" Mata indah Herlin membulat nyaris menyaingi mata ikan mas koki. 

Bayu ikut kaget sekaligus bingung dan tak enak. Baru hari kedua jadi anak tiri Azwin, ia sudah dapat berkah sebuah mobil. Bukannya senang, pemuda ini malah merasa kurang nyaman.

"Herlin mau pesan gojek aja, Pa. Nggak usah ngerepotin Bayu!" tolak Herlin.

Detik itu juga, ia menyesal pernah menolak dibelikan motor, ketika papanya menawarkan. Malas juga Herlin belajar naik motor. Alasannya takut tabrakan, takut jatuh, takut ini itu. Padahal, ia hanya terlalu manja, ingin diantar jemput saja oleh papanya. 

"Gak bagus panggil nama aja ke kakakmu. Panggil "mas"!" tegur Azwin.

Mas? Herlin mendelik. Hanya memikirkan saja, ia sudah alergi, apalagi menyebut betulan. 

"Maaf, Om, eh, Pa, saya giliran jaga malam mulai jam tujuh sampai jam tujuh besok pagi ...." Bayu berusaha menolak halus dengan cara menyampaikan jadwalnya. 

"Wah, berarti pagi dan siangnya kamu free, dong? Ya udah, Papa bisa percayakan Herlin ke kamu, ya!" Azwin bangkit. Terlihat lega sekaligus bersyukur. Akhirnya ia memiliki anak lelaki yang menggantikan tugas beratnya menjaga Herlin. 

Herlin tak terima. Ia mengerti, papanya tidak tahu kalau Bayu mantannya. Namun, mengapa semudah itu papanya mempercayakan dirinya kepada orang yang baru dikenal? 

Mendadak, denting pemberitahuan chat masuk berbunyi di ponsel Herlin. Ternyata dari Mona, temannya satu tim.

[Lin, kami udah kumpul di lobi RSJ, nih. Tinggal nungguin kamu. Duh, plis, jangan telat, deh. Kita mau revisi jadwal yang ambyar gegara kamu izin wedding papamu]

[Baru jam tujuh]

[Mikir, Liin. Jam tujuh dari rumahmu ke RSJ berapa meniiit?]

Herlin tersadar, ia tinggal di perumahan berjarak sekitar 30 menit ke RSJ jika ngebut dengan kecepatan tinggi dan jalanan tidak macet. Kalau slow, 45 menit baru tiba.

Gadis itu sontak terpontang-panting meninggalkan meja makan menuju kamar. Gara-gara berbincang di meja makan, ia sampai lalai memperhatikan waktu. 

Lima menit kemudian, ia turun bersama tas ransel, sambil mengempit snelli. Kerudung dan gamisnya tidak diganti. Masih model kasual, bukan busana formal yang biasa dipakai dinas. 

"Nggak sempat makan, Lin?" tegur Hena, prihatin. 

"Nggak, Tante, dah telat!"

"Tunggu bentar, ya, Tante siapin bekal."

"Duh, gak usah, makasih. Herlin sarapan di luar aja!" 

"Jangan panik! Kalo dokter panik, gimana mau nolong pasien?" celetuk Bayu, sambil menangkap kunci mobil yang dilemparkan Azwin. 

"Kamu sering maag, kan? Kalo udah sibuk di kampus atau rumah sakit, kadang lupa makan. Tungguin bekal dari mamamu, Lin. Papa gak mau kamu sakit!" Azwin mengingatkan, tegas.

Kalau sudah ditegasi begitu, Herlin terpaksa patuh. Hena bergerak cepat dan cekatan memasukkan seporsi lontong sayur ke kotak bekal, lalu dibungkus dengan kantong plastik. Tidak makan waktu lama, Herlin sudah memegang kotak bekalnya. 

"Mama ikut juga, ya. Sekalian ke pasar!" ajak Bayu, penuh permohonan, sebelum menyusul Herlin yang sudah duluan ke luar rumah.

"Mama mau ikut papamu ke kafe. It's okay, Nak. Kamu boleh canggung ama cewek lain. Tapi nggak ke adekmu sendiri. Kalian mesti saling mengenal supaya rasa persaudaraan cepat terjalin," kata Hena, lembut.

Bayu kehilangan kata-kata, apalagi ketika melihat papa tirinya menunjukkan ekspresi mendukung. Ia bergegas menuju ke depan, dan berbelok ke garasi di samping rumah. 

***

Bersambung

Temans, novelnya udah terbit.
Udah tamat juga di KBM App  😍

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 15 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SEATAP DENGAN MANTANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang