Menikah Lagi (1)

811 49 2
                                    

"Herlin, Papa mau nikah lagi. Boleh nggak?"

Ucapan tersebut membuat Herlin terkejut dan otomatis meletakkan diktat kuliahnya. "Tumben serius. Biasanya naksir-naksir doang tanpa rencana nikah." 

"Ini anak, bukannya ngedukung, malah nyindir!" Azwin, duda yang kematian istri enam tahun lalu itu, mengirim selentikan ringan ke telinga putrinya.

"Wokeh, siapa, siapa, siapa calon mama yang beruntung ini?" Herlin menutup diktat kuliahnya. Lantas memutar tubuh, menghadapi papanya dengan sungguh-sungguh.

Dengan penuh semangat, Azwin--pengusaha kafe handal yang fotonya berseliweran di berbagai tabloid dan majalah bisnis itu--bercerita kepada putrinya.

"Mungkin, kamu udah kenal dia," ungkap Azwin, dengan perlahan dan hati-hati. "Lima tahun silam. Papa udah sering ngasih isyarat, sih. Sering chat nanya kabar terus ngirim bunga plus ucapan selamat ultah tiap tahun. Tapi nggak dia gubris."

"Herlin kenal? Tante siapa, ya?"

"Dulu saat kamu kecil, sering ke rumah kita. Waktu mama masih ada." 

"Siapa, ya?" Herlin mencubit-cubit dagunya. Kebiasaan yang sering ia lakukan jika sedang berpikir. "Papa gak pernah cerita, soal tante yang satu ini. Trus dating online-nya gimana? Perasaan Papa naksir beberapa cewek, deh. Gak ada yang jadi semua?"

"Semuanya gagal. Nggak ada yang sreg. Mereka semua cuma ngincer harta Papa." Azwin menampakkan wajah kecewa.

"Trus, apa istimewanya yang satu ini? Papa dicuekin. Ngenes amaaat. Eh, tau-tau jadian aja." Herlin kali ini menumpu dagu dengan tangan. Ia dan papanya memang sudah seperti teman saja. Curhat soal calon pasangan hidup tanpa sungkan atau risih. 

"Dia pengusaha katering yang menyuplai makanan ringan untuk semua kafe Papa sejak lima tahun lalu. Sahabat almarhum mamamu. Mungkin itu yang bikin dia rada segan."

"Sahabat almarhum mama?" Mata indah Herlin melebar.

"Suaminya meninggal sepuluh tahun silam. Dia gagal move on selama itu, dan baru terbuka hati melihat Papa lima tahun lalu. Tadinya dia nggak percaya Papa, makanya Papa digantung terus. Lama-lama dia luluh juga. Papa sengaja gak cerita tentang dia ke kamu, karena ... belum jelas aja."

"Wow, surprise! Siapa, ya? Sahabat mama itu banyak. Siapa, ya, sahabat mama yang suaminya meninggal? Herlin beneran lupa, Pa."

"Kamu kebanyakan kegiatan sejak SMA, sih. Apalagi waktu masuk kuliah di FK. Kuliahmu aja udah sibuk banget, sampai nginep-nginep di kos temenmu yang deket kampus. Tambah lagi ikut organisasi. Kesibukanmu ngalah-ngalahin Papa! Mana inget sahabat-sahabat dekat mamamu yang dulu sering bertandang ke rumah!" Alih-alih memberi tahu nama calon istri, Azwin malah mengomeli putrinya.

"Tapi kesibukan Herlin positif, kan," kilah Herlin. "Whatever, siapa pun orangnya, Herlin percaya Papa, dan selalu mendukung pilihan Papa."

"Komentarmu gitu aja?" Azwin tidak puas.

"Pa, bagi Herlin, yang penting Papa bahagia. Herlin senang banget akhirnya Papa dapet pelabuhan hati. Moga Herlin gak dapet ibu tiri galak, ya." Herlin terkekeh.

Senyum Azwin merekah. Herlin terharu campur senang. Akhirnya, ia melihat cahaya di mata papanya, setelah redup sekian lama, semenjak kematian mama.

***

Bersambung

CERITA INI SUDAH TAMAT DI KBM APP

SEATAP DENGAN MANTANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang