I fall

2.2K 121 3
                                    

Warning!

Yup, warning! Cerita ini mengandung unsur suicide thougts! (Pemikiran tentang bunuh diri) Bagi kalian yang sensitif dengan unsur tersebut, diharapkan skip aja dan lanjut ke chapter selanjutnya. Thanks :)

Peter Parker, siapa yang tidak mengenal pemuda asli Queens itu? Namanya menjadi terkenal setelah ayah angkatnya, Tony Stark, mengatakan kalau perusahaannya akan diwariskan pada si bocah laba-laba itu. Tapi, dengan rendah hati, Peter tidak mau mengelola perusahaan itu saat ia masih kuliah. Ia berkata demikian secara terang-terangan di acara langsung yang disiarkan hampir di seluruh stasiun TV yang ada di New York.

"Maafkan aku Dad, aku harus mengatakannya di acara TV ini." Peter menghela napas, "Aku belum mampu."

Sudah lebih dari sebulan setelah penayangan acara TV itu, tapi hal itu tetap sering digunjingkan oleh orang-orang. Termasuk di Universitas tempat Peter berkuliah, ia baru masuk semester pertama.

"Hei, kau terlihat murung, dude!" Ned, sahabat Peter dari SMA Midtown.

Peter tertawa kecil ketika sahabat gendutnya itu menceritakan pengalaman kencan butanya. Ned terlihat sangat santai walaupun gadis yang ia ajak kencan buta itu mencampakkannya di resto Thai favorit Bibi May.

Sesudahnya, Peter pergi ke kelas. Ia duduk memandang ke arah papan tulis yang besar, menatap kosong. Dua jam kemudian Peter pergi, setelah ia mendengar penjelasan dosen mengenai Gamma Radiation. Penjelasan yang menurut Peter, sangat tidak menarik. Bukan karena materinya, tetapi Peter bahkan sudah bisa menjelaskan topik itu sejak SMP.

Bukan untuk menyombongkan diri, Peter memang murid jenius dengan IQ yang hampir sama seperti Tony Stark dan Dr Banner. Orang nomor dua yang paling ia kagumi setelah Tony, adalah Dr Banner. Itu benar, Dr Banner adalah si penulis buku teori sinar gamma. Selain itu, Peter juga suka saat pria berkacamata itu berubah menjadi monster hijau besar yang menakutkan.

"Hei, lihat! Bukankah itu pewaris Stark Industrie?"

"Kau benar, kenapa dia menuntun sepeda itu ya? Padahal kan Ayah angkatnya milyuner ternama."

"Sssh. Nanti dia bisa dengar tau!"

Peter sudah sering mendengar omongan mereka yang selalu membahas tentang Ayah angkatnya dan Stark Industrie. Sehingga, membuat bocah itu tak acuh dan memakai earphone lalu mengayuh sepedanya ke apartemen yang ia sewa.

Peter merebahkan badan di sofa buluk yang ada di ruang tamu. Menengok ruangan apartemennya yang cukup sempit. Bahkan Peter tidak punya TV di apartemennya. Tiba-tiba dering telepon berbunyi, tanpa babibu Peter segera mengangkatnya.

"Halo?"

"Hey kid." Suara Tony di seberang sana.

Peter tidak menjawab, ia menahan kata-kata yang sudah di pangkal lehernya.

"Kau di sana?" Suara ayah angkatnya itu terdengar serak, "Masih bersikeras tinggal mandiri ya.."

Peter menghela napas, "Hey, Mr. Stark"

Tidak ada pisau atau belati yang menusuk dadanya. Tapi, Tony yakin sakit di dada kirinya setelah mendengar Peter memanggil dia secara formal, sakit itu lebih perih daripada peluru menancap ke dadanya.

"Jika tidak ada urusan penting, jangan menelepon. Aku masih memiliki banyak tugas di sini, jadi.. ada apa Mr. Stark?" Peter berusaha membuat suaranya terdengar dewasa dan tegar.

"Oke maafkan aku," Tony mengusap setetes air mata di pipinya, "Aku hanya ingin tahu kabarmu"

Peter berjalan ke arah jendela, menggenggam erat telepon yang ia gunakan, "Aku baik-baik saja." Ia menjauhkan telepon itu dari telinganya, "Bye, Mr. Stark"

Spider-kid and Iron-dadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang