Prologue

370 26 0
                                    

"SEKALI LAGI, JAWAB pertanyaanku. Dari siapa kalian memasok barang-barang itu?"

Cengkeraman dieratkan. Tubuh seorang pria dewasa dijunjung hingga kedua kakinya tak lagi menapak lantai. Pistol di tangan kanan dimainkan dengan amat ringan. Sepasang mata abu-abu menatap malas pria di hadapannya, memperhatikan ringisan pada wajah yang telah dipenuhi luka dan darah segar. Telapak tangannya lengket oleh cairan merah itu. Namun, dia belum boleh beranjak sampai mendapatkan jawaban.

"P-persetan!" umpat pria yang dicekik olehnya. "K-kau t-takkan m-mendapatkan informasi apa pun!"

Hela napas terlepas dari bibir. Pandangan dialihkan, kini menatap lebih dari lima belas mayat yang telah mengotori lantai gudang. Darah mereka mengaliri lantai coran, tampak seperti genangan air biasa berkat pencahayaan yang remang.

"Kau benar-benar ingin menyusul mereka?" ujar suara berat itu. "Aku terharu, kau ternyata benar-benar setia kawan. Apakah aku perlu memberimu hadiah atas kekuatan persahabatan ini?"

"Bajingan!"

Mata sang tawanan menatap nanar, termakan murka dan marah yang tak terkira.

"Lebih baik aku mati daripada memberi informasi padamu," tandasnya lagi, terdengar lebih geram dan muak. Dia mengatupkan mulut, kemudian meludahkan darah tepat ke wajah pria di hadapannya. "Membusuklah di neraka."

Mata telah terpejam dengan refleks. Ludahan itu berhasil memancing emosi yang sedari tadi tak terprovokasi.

Cengkeraman tangan dieratkan. Dia semakin mencekik leher lawan, mendengarnya mengerang selagi terus terbatuk dengan menyakitkan. Ujung pistol telah menempel di depan dahi lawan. Dia menekannya keras selagi balik menatap dengan pandangan meremehkan yang kini diliputi rasa muak.

"Kau benar-benar tak tahu cara berterima kasih," gumamnya, terdengar dingin, tak lagi main-main. "Aku mungkin memang akan membusuk di neraka. Tapi, aku akan mengirimkanmu dulu ke sana."

Pelatuk itu ditarik. Suara tembakan yang teredam langsung memenuhi sepenjuru ruang.

Kedua mata sang lawan masih terbuka lebar. Darah segar yang lain kini merembes dari lubang baru di dahinya. Pria itu melempar tubuh lunglai sang lawan ke atas lantai, membiarkannya bergabung dengan orang lain yang juga telah meregang nyawa.

Lantai bernoda darah ditatap lurus. Pria itu mengembuskan napas kasar, menahan keinginan untuk menghantamkan kepalan tangan pada dinding di hadapannya. Dia mengusap bekas ludahan dengan lengan kemeja, menatap dan berdecak muak ketika melihat betapa menjijikannya kotoran tersebut.

Hujan masih begitu deras di luar sana. Petirnya menyambar-nyambar, bergema sampai seolah menggetarkan barang-barang di dalam gedung tua ini. Dia mengedarkan pandangan untuk sesaat. Matanya terpatri pada sebuah jeriken putih. Dia mengambil benda tersebut dan membawanya ke dekat tumpukan barang yang menyerupai pasokan gula bubuk. Plastik pembungkus dirobek begitu saja dengan pisau yang telah bernoda darah. Dia mengambil sedikit bubuk tersebut dan memasukkannya pada plastik kecil.

Setelah mengantongi plastik kecil itu, dia kembali mengangkat jeriken dan menuangkan seluruh isinya ke sekitar tumpukan bubuk-bubuk putih. Jeriken kosong di lempar ke sembarang arah. Dia berjalan mundur, memandang benda yang ilegal yang akhir-akhir ini menyebabkan banyak huru-hara. Tangannya merogoh saku. Dia memandang korek api logam untuk sesaat. Pematik api tersebut dimainkan beberapa kali sebelum dilemparkan dengan kondisi menyala.

Rambatan api tercipta di lantai gedung. Nyala apinya terus merambat hingga melahap barang-barang yang dilalui, mulai dari pasokan bubuk-bubuk putih hingga tubuh tak bernyawa yang tergeletak di lantai.

Arlen Friedrich membiarkan air hujan membersihkan noda darah di sekujur tubuhnya. Dia terus berjalan, meninggalkan gudang penyimpanan yang mulai habis terbakar—gedung yang tadinya menyimpan barang dengan harga yang cukup untuk membeli sebuah perumahan besar. []

[1] Maple Candy #The Nox SeriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang