[3] Kaki Tangan

118 12 2
                                    

MATAHARI TELAH MENYINGSING ketika Arlen terbangun. Kamar hotel masih sedikit gelap akibat gorden yang tertutup. Arlen mengernyit pelan begitu merasakan pening yang menyerang kepala. Alkohol tadi malam tampaknya berefek lebih berat dari yang dia duga.

Pijatan pada pelipis terhenti. Arlen mengerjap, mulai mengingat seluruh kejadian tadi malam. Dia menoleh dan mendapati wanita yang telah menghabiskan malam dengannya. Sosok itu masih tertidur pulas. Sisi wajahnya tertutup oleh helaian rambut. Arlen mengulurkan tangan, mencoba mengalihkan rambut itu agar dapat melihat dengan lebih seksama.

Penilaiannya tadi malam sepertinya cukup akurat. Wanita itu benar-benar cantik dan menarik.

Arlen mengembuskan napas pelan. Kondisi ini benar-benar sangat disayangkan. Dia mungkin bisa mencoba mengajaknya makan malam kalau kasus ini tak begitu merepotkan. Menjalin hubungan serius dengan seseorang memang tak pernah masuk ke dalam kamus hidupnya. Akan tetapi, Arlen masih berkenan kalau mereka menjadi kenalan. Kesempatan itu tampaknya sedang tidak tersedia untuk saat ini. Dia sedang tidak ingin melihat orang awam mati karenanya.

Arlen beranjak ke kamar mandi dengan sebuah handuk. Dia menyalakan shower untuk mengguyur tubuhnya dengan air hangat. Salju di luar sana memang sudah menipis. Akan tetapi, suhu udara masih terlalu dingin untuk mandi tanpa air panas.

Malam tadi tidurnya cukup nyenyak berkat kehadiran wanita itu. Sudah cukup lama sejak dia mendapatkan partner tidur yang dapat sama-sama memuaskannya. Sosok itu tidak banyak mengoceh dengan menanyakan pistol yang dibawanya, ataupun terlampau penasaran waktu melihat beberapa bekas luka di tubuhnya. Sosok itu seolah tak begitu peduli. Dia tidak waspada padanya hanya karena kehadiran sebuah pistol. Arlen bahkan takjub ketika melihat bekas luka sayat sang wanita. Bekas luka itu ada di sekitar perut, sedikit menyamping, tempat yang biasanya menjadi titik serang sebuah tikaman.

Arlen berhenti bergerak. Detik berikutnya, dia langsung mengumpat.

Busa di kepalanya segera dibersihkan. Tak sampai tiga menit, dia sudah beranjak dari kamar mandi. Tubuhnya masih basah. Jubah mandi diikat dengan sembarangan.

"Sialan," umpatnya lantang. Dia mengepalkan tangan, menatap ranjang yang telah kosong. Wanita itu sudah menghilang meski beberapa saat lalu dia jelas-jelas masih tertidur lelap. Pakaian yang tadi berceceran di lantai kini sudah tiada.

Arlen menemukan dompetnya yang berada di bawah selimut. Dompet itu seharusnya masih ada di dalam saku alih-alih di atas ranjang. Pikirannya semakin berkemelut. Dia membuka dompet, mendapati kartu-kartu penting yang masih utuh. Uang tunainya juga tidak berkurang. Satu hal yang hilang adalah ... sampel obat ilegal yang sedang dia selidiki.

Arlen menatap dompet itu dengan nanar. Dia segera mengambil pakaiannya, hanya untuk mendapati bahwa pistol yang dibawanya untuk berjaga-jaga juga sudah tiada.

Telapak tangannya mengepal erat.

Dia takkan membiarkan Gustaf ataupun rekan-rekannya mengetahui kejadian memalukan ini.

oOo

Ketika kembali mengunjungi bengkel, Frank sedang sibuk sarapan. Dia belum sempat menyapa Arlen karena temannya itu terlalu mengagetkannya. Arlen melempar jas panjang yang tadi dikenakan. Dia menjatuhkan diri dengan kasar, duduk menjejeri kawan lamanya. Tanpa banyak bicara, dia mengambil porsi makan milik Frank yang kemungkinan besar dibuat khusus oleh sang istri.

"Hei, kenapa pagi-pagi kau sudah menyebalkan seperti ini?" protesnya, memperhatikan tindakan kurang ajar Arlen.

"Aku lapar," tandasnya, terdengar terlalu geram hanya untuk menyampaikan rasa lapar.

[1] Maple Candy #The Nox SeriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang