[7] Rekan

106 11 0
                                    

PECAHAN KACA MENGOTORI lantai. Perabotan rumah tampak terbengkalai. Meja-meja telah bergeser dari tempatnya. Kursi makan terjungkal hingga terbalik.

Manik cokelat keemasan memperhatikan pecahan botol alkohol dengan nanar. Tubuhnya gemetaran. Gagang pisau di telapak tangannya terasa begitu licin, basah oleh cairan merah kental yang berbau anyir.

Pandangan beralih pada tubuh tak bernyawa yang tergeletak di atas lantai. Seorang anak perempuan memperhatikan sorot mati dari mata mayat yang masih terbuka. Tubuh itu bersimbah darah. Mulai dari wajah hingga pakaian. Semua noda kemerahan itu berasal dari tusukan pada leher dan beberapa bagian di perutnya.

Teriakan sosok tersebut masih terbayang, terngiang jelas dalam telinga.

Bilah pisau berdenting jatuh. Anak tersebut melangkah mundur, mengatupkan mulut dan berbalik arah, mengayunkan kaki untuk melarikan diri. Ada gejolak memuakkan yang membuatnya begitu mual. Mulutnya mengatup. Sebelah tangan memegangi perut.

Napasnya terengah. Matanya terasa panas, menahan tangis yang mendesak keluar. Dia tak lagi begitu memperhatikan sekitar, sangat luput pada kehadiran orang yang baru merangsek masuk ke dalam rumahnya.

Tubuh tersentak mundur setelah menabrak seseorang. Kedua mata membeliak. Dia hendak menerobos lari ketika tersandung oleh kakinya sendiri, membuatnya jatuh terduduk.

Sosok di hadapannya membuka kacamata hitam yang dipakai. Ruang tamu ini tak begitu terang. Akan tetapi, lipstik kemerahan di bibirnya terlihat begitu mencolok. Dia berjalan mendekat, menghampiri seorang anak perempuan yang baru saja menabraknya. Kedua mata mengamati sosok berambut gelap tersebut, melihat pakaian kusut serta wajahnya yang penuh peluh dan darah. Lantai di belakang sana meninggalkan noda darah yang sama, membentuk jejak kaki sang remaja.

Pandangan beralih pada tubuh yang masih gemetaran. Dia berlutut, hendak meraih dagu anak tersebut. Uluran tangannya ditepis dengan keras.

"J-jangan mendekat," tandas suara parau itu, terdengar gemetar. "M-menjauh dariku!"

Kacamata disampirkan pada saku jaket. Sosok tersebut memindai sepenjuru ruang, memperhatikan ruang tamu yang tampak rapi, tak begitu menjelaskan kondisi berantakan si anak.

"Bukankah ini adalah kediaman Marcus Denhart?" Dia menyipitkan mata. "Di mana dia?"

Anak perempuan di hadapannya balik menatap dengan tajam.

"Siapa kau?"

"Aku ... orang yang punya kepentingan dengan Marcus." Dia menatap sosok itu lamat-lamat. "Kau, apakah kau putrinya?"

Sang remaja perempuan langsung mengatupkan mulut. Dia berusaha berdiri, tampak kewalahan karena sengatan menyakitkan di telapak kakinya.

"Enyahlah," tandasnya dingin. "Dia sudah mati."

Alih-alih terkejut dan ketakutan, wanita dewasa itu mengangkat sebelah alis. Dia menarik tangan sang anak, menahannya pergi.

"Apa katamu?"

Sang anak mengibaskan tangan, ingin terlepas dari cengkeraman itu. Langkah kaki lain membuatnya mengalihkan pandangan. Wajahnya semakin pias ketika melihat kehadiran tiga pria asing lainnya.

"Madam, kontrak dari tukang rental itu sudah berhasil ditandatangani. Dia mau melakukannya setelah kami—" Ucapan sang pria asing terhenti dengan mendadak. Dia menoleh pada remaja perempuan berpenampilan berantakan yang tengah ditahan oleh atasannya. "Apa ... yang terjadi?"

Si anak perempuan tiba-tiba didorong ke arah pria asing tersebut.

"Anak ini bilang kalau Marcus sudah mati." Wanita yang dipanggil Madam itu mengedikkan dagu ke dalam ruangan. "Cari dia."

[1] Maple Candy #The Nox SeriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang