"Astaga, Ziya."
Krist melihat Arya seketika berlari mendekati jendela. Wajahnya seperti cemas. Dia seperti mencari sesuatu di bawah sana.
"Non Ziya!" Tangisan Uni bertambah histeris. Membuat Krist semakin khawatir dan seketika berlari untuk mencari jawaban atas kebingungannya.
Krist berbalik, dia segera berlari untuk menemukan Ziya. Sangat khawatir, dirinya benar-benar khawatir tentang keadaan Ziya.
Bugh ....
"Tante, maaf. Krist tidak sengaja." Langkahnya terhenti saat tak sengaja menabrak seorang wanita cantik dengan pakaian indahnya.
"Tidak apa. Tapi, Krist. Apa yang terjadi?" Tika kemudian bertanya setelah menyadari wajah Krist yang tampak cemas.
"Ziya, Tante." Mata Krist tampak tidak tenang. Dia sebenarnya ingin segera pergi dari tempat ini untuk menemukan gadis itu. "Ziya ...."
"M-maaf, Tante. Krist harus segera pergi." Krist langsung melesat pergi tanpa menjawab pertanyaan Tika. Dia pun sebenarnya tidak tahu. Dia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, dia hanya melihat sebuah tambang yang menggantung di loster jendela. Tidak ada apapun lagi selain Krist meyakini satu hal yang membuatnya harus segera pergi untuk mencari Ziya.
"Zi." Krist berteriak. Dia telah sampai pada tempat yang dituju, di samping halaman rumah Ziya. Dia menengadah menatap jendela kamar Ziya di atas sana. Tambang itu menggantung sampai ke bawah sini. Tidak ada Ziya, tidak ada cairan merah apapun yang harus membuat mereka menangis histeris seperti Bi Uni.
"Krist, di mana Ziya?" Arya menyusul Krist dengan napasnya yang sedikit tersegal. Dia menatap Krist seperti mengharapkan jawaban yang baik. Namun, Krist hanya menggeleng, kemudian menunjukkan tali tambang itu pada Arya.
"Ziya kabur, Om."
Embusan angin menerpa gadis cantik berambut panjang itu yang sedari tadi berjalan kaki seorang diri. Tidak memiliki tujuan, hanya berjalan mengikuti kakinya yang terus melangkah semakin jauh dari tempat tinggalnya.
Pukul 20.01, sudah satu jam lebih dia berjalan dan meninggalkan rumahnya. "Bunda, Zi nggak salah, kan?"
Ziya terus berjalan. Entah kemana pun yang pasti tidak di rumah. Dia tidak ingin menyaksikan pernikahan itu. Dia tidak ingin menyakiti almarhum Bundanya. Jika dia hadir di acara pernikahan itu, bukankah sama saja dia merestui pernikahan ayahnya, kan. Tidak, itu sebabnya Ziya kabur.
Terserah jika besok pagi mereka sudah resmi menjadi sepasang suami-istri. Ziya tidak perduli, yang dia pedulikan hanya Bundanya, almarhum Bunda Na yang mungkin tengah menangis di atas langit sana.
Ziya menghentikan langkahnya, dia terdiam dan berdiri menatap arus sungai di bawah sana. Rasanya sangat lelah, kakinya mulai sakit sedari tadi berjalan tanpa menggunakan alas kaki.
KAMU SEDANG MEMBACA
MISSING
Teen Fiction"Aku cuma mau ngerasain bahagia kayak Kak Ziya. Apa nggak boleh?" Kalimat yang sudah tidak asing bagi Ziya ini keluar dari mulut adiknya. Adik perempuan satu-satunya yang beberapa bulan lalu datang dan tiba-tiba tinggal bersama mereka. "Kak Zi, aku...