"Pelan-pelan, Sat." Juan menjauhkan wajahnya. Dia menatap tajam pada seorang pria yang dari tadi mengobati sudut bibirnya. "Sakit bego!" ucapnya dengan marah.
"Lebay lo," jawabnya sambil menekan kuat pada sudut bibir Juan yang membuatnya menjerit kesakitan.
"Hei, pelan-pelan, Krist." Ziya bersuara, mulai merasa tak tega pada temannya.
"Kalo gitu lo aja yang urusin dia." Krist menatap tajam pada gadis itu. Wajahnya benar-benar terlihat tidak damai. Itu sudah terjadi sejak dia mengobati luka Juan. Seolah Juan adalah musuh yang sewaktu-waktu akan dia mangsa dan dilenyapkan.
Entahlah, Ziya pun heran kenapa Krist menjadi seperti ini. Seingatnnya, Krist itu orang yang tidak pernah cari ribut alias selalu ramah pada orang lain, tapi kali ini sangat aneh. Dia menjadi pemarah dengan matanya yang tidak ramah.
"Auuu ... sakit bego!" Juan kembali meringis. Membuat Ziya sekatika melebarkan matanya ke arah Krist.
"Krist—"
"Gue pergi," selanya, kemudian Krist beranjak pergi setelah menajamkan matanya pada Juan.
"E-eh—" Ziya lekas berdiri. Dia hendak mengejar Krist, tapi suara Juan membuatnya urung melangkahkan kaki.
"Lo boleh pergi. Gue udah nggak papa." Juan meraih kapas yang Krist lempar ke atas meja, mengambil cermin, lalu mengobati lukanya dengan hati-hati.
Melihat Juan melakukan semuanya membuat Ziya merasa bersalah, tak tega juga meninggalkan temannya dengan keadaan seperti ini.
"Nggak papa gimana. Sini gue obatin." Ziya mengambil duduk dan meraih kapas di tangan Juan. "Maafin Krist, ya."
"Buat apa?"
"Ya, pokoknya—"
"Masuk aja. Sandinya masih sama." Juan memotong, dia berseru pada seseorang yang membunyikan bel.
Ziya pikir Krist kembali. Ternyata bukan. Itu adalah seorang gadis cantik dengan pakaian sederhana yang berdiri di ambang pintu.
"Sini masuk." Juan memerintah, membuat gadis pemalu berambut hitam di sana mulai melangkah memasuki apartemen.
"Permisi." Wanita belasan tahun itu membungkuk sopan sambil menyapa. Dia tersenyum ramah dan terlihat hormat menyadari keberadaan Ziya di samping Juan.
"Mata itu ...."
Berbeda dengan Ziya yang mendadak diam menjadi patung. Dia terus memperhatikannya seperti sedang berpikir keras. Tatapan itu seolah tidak asing dalam pandangan Ziya, senyum manisnya membuat Ziya terlena. Itu ... itu membuat Ziya mengingat seseorang yang sangat ia rindukan.
"Zi ...." Juan yang sadar Ziya melamun pun memanggilnya.
"Bun ...." Ziya bergumam.
"Zi, hei. Lo ...."
"Kenapa kamu terlihat seperti bunda," tuturnya di dalam hati.
"Ziya!"
"E-eh, ya, kenapa?" Ziya menoleh ke arah Juan.
"Ngapain ngelamun, sih." Juan menaikkan alis, dia menatap Ziya penuh tanya.
"S-siapa yang ngelamun. Nggak, kok," jawab Ziya sedikit gugup. Juan yang memang dari tadi memperhatikan Ziya pun tersenyum kecil.
"Oke, terserah lo. Kalo gitu pulang sana. Gue udah ada yang jagain, jadi lo nggak perlu di sini lagi."
"Lo ngusir gue?" Ziya membulatkan mata, dia melemparkan kapas di tangannya pada wajah Juan.
"Nggak, gue cuma males aja berususan sama cowok lo," kata Juan, setelahnya ia berdiri membuat gadis cantik di sana segera berlari membantu Juan.
"Mas Juan mau ke kamar?" Suara gadis itu sangat lembut, membuat Ziya terus memperhatikannya. Dan, entah kenapa membuat tenang pada hatinya. Tatapan khawatir itu seolah menghipnotis Ziya. Gadis yang sangat sopan, dia pun sangat perhatian pada Juan.
KAMU SEDANG MEMBACA
MISSING
Teen Fiction"Aku cuma mau ngerasain bahagia kayak Kak Ziya. Apa nggak boleh?" Kalimat yang sudah tidak asing bagi Ziya ini keluar dari mulut adiknya. Adik perempuan satu-satunya yang beberapa bulan lalu datang dan tiba-tiba tinggal bersama mereka. "Kak Zi, aku...