Beberapa hari terakhir ini Renjun merasa ada yang aneh dengan tubuhnya. Ia selalu kelelahan kendati tak melakukan aktifitas berat. Ia juga jadi lebih sering mengantuk. Padahal, kalau dipikir-pikir, walau Saera membencinya, tetapi wanita itu selalu memberikannya waktu tidur yang cukup saat malam hari.
Renjun tidak tahu apa penyebabnya, yang pasti ia yakin kalau kondisi kesehatannya sedang tidak stabil akhir-akhir ini. Sudah lebih dari dua kali ia mengalami demam di bulan ini. Termasuk hari ini.
Renjun merasa kepalanya begitu pening. Tenggorokannya sakit, dan hawa panas menguar di sekujur tubuhnya padahal ia merasa begitu dingin. Tubuhnya terasa sakit di sana-sini. Sebab itu, tak ada yang bisa Renjun lakukan pagi ini selain hanya bergelung di balik selimut dengan tubuh mengigil. Sibuk dengan segala penderitaannya, membuat Renjun bahkan tidak sadar dengan keberadaan Jeno di kamarnya.
Jeno yang diperintahkan Saera untuk membangunkan Renjun, hanya bisa berdecak. Pucat yang menghiasi wajah Renjun, pun bagaimana bergetarnya tubuh laki-laki itu lantaran menahan dingin, menarik kesimpulan Jeno kalau Renjun sedang sakit. Entah kenapa hal itu membuat Jeno merasa tak tega membangunkannya.
“Eomma suruh kau bangunkan anak ini, kenapa hanya mematung di sana, hn?” Saera tiba-tiba muncul. Mendorong tubuh Jeno ke samping guna memudahkan langkahnya mendekati Renjun. Lantas dalam satu jurus ia menyingkap selimut yang menutupi tubuh Renjun dan segera menarik anak laki-laki itu untuk segera bangkit dari tidurnya.
“A-aku sepertinya sakit. Bolehkah untuk hari ini saja, aku beristirahat?”Renjun melirih, selagi memeluk tubuhnya sendiri guna menghalau dingin yang serentak menyerang.
“Apa? Kau pikir kau siapa di rumah ini? Jangan pura-pura sakit! Sekarang bangun, kau harus melakukan banyak pekerjaan di hari minggu ini!”
Jeno terpaku di tempatnya. Di pedalaman hatinya ia merasa kasihan melihar Renjun saat ini. Namun, setiap kali ingat kalau Renjun mengacaukan banyak hal dalam hidupnya, membuat Jeno mengesampingkan rasa empati yang hendak tumbuh itu dan hanya membiarkan Saera mengomeli Renjun sepuasnya.
“Saya tunggu kau di bawah. Kalau dalam sepuluh menit kau belum turun, aku pastikan kau tidak bisa lagi tinggal di rumah ini.”Setelah berujar demikian, sambil menghentakkan kaki kasar, Saera berjalan keluar ruangan. Kemarahan yang selalu saja memonopoli setiap kali berhadapan dengan Renjun, membuat wanita itu bahkan tak berucap apa pun pada Jeno di ambang pintu sana dan hanya melewati si anak begitu saja.
“Ish, benar-benar pengacau!” rutuk Jeno selagi turut membawa langkahnya meninggalkan Renjun.
Selepas kepergian Saera dan Jeno, Renjun termenung sejenak. Merasa ingin menangis dan meratapi nasibnya. Namun, berulang kali pun ia melakukan itu, nasib buruknya tidak akan berubah. Lagi pula, Renjun sudah bertekad untuk bisa berdiri lebih kuat saat ini. Ia hanya akan menjalani alur hidupnya dengan perasaan yang jauh lebih lapang. Selagi tak putus doa pada Sang Maha Segalanya, berharap akan ada hari di mana ia bisa menyicip bahagia kendati hanya sedetik di sisa hidupnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
RENJUN
FanficJeno tidak tahu apa yang Renjun miliki sehingga laki-laki itu tampak seperti bintang di angkasa. Berpijar dan bersinar terang. full brothership