2 | Tak Bisa Pulang

1.8K 266 19
                                    

Rasa-rasanya ada rudal squat dalam kepala Jeno yang siap meledak kapan saja

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Rasa-rasanya ada rudal squat dalam kepala Jeno yang siap meledak kapan saja. Mungkin jika ia menghitung mundur dari tiga, di angka satu dinamit itu benar-benar akan menghancurkan kepalanya.

Sial!

Jeno mengacak surai kecokelatannya frustasi, selagi mulutnya tak henti mengeluarkan umpatan-umpatan tak berarti. Sebanyak yang diingat, umpatan itu ia tujukan pada Mark dan Jaemin. Tepatnya, pada ide mereka yang menyudutkannya dalam ruang dilematis.

“Siapa yang sudi berdiri di satu panggung yang sama dengan si Anak Haram itu, huh?” Kendati begitu, suara indah Renjun terus mengusik ingatan. Membuat Jeno sadar bahwa memang suara seindah itulah yang ia cari.

Aish ... dia pikir, suara bagusnya bisa membuatku bersimpati apa? Ah, sial! Dia sudah mulai mencuri perhatian teman-temanku juga.” Namun, tampaknya kebencian dalam hatinya jauh lebih pandai memungkiri.

Menutup kasar buku biologi yang sedari awal tengah menemani, Jeno lantas bangkit menjauhi meja belajar dan berjalan menuju keluar kamar. Berpikir terus-menerus membuat kemarau panjang serasa melanda tenggorokannya. Ia ingin minum sebanyak mungkin saat ini.

“Kenapa membuka pintu saja lama sekali, hah?!”

Langkah Jeno terhenti di anak tangga paling atas tepat ketika pekikan Saera nyaring mengudara, menusuk gendang telinga. Di depan pintu sana, wanita paruh baya itu tengah mendakwa Renjun yang hanya bisa menunduk dalam.

Hal biasa di beberapa minggu terakhir ini. Semenjak Renjun menjadi bagian dari keluarganya, Jeno sadar kalau ibunya yang lembut menjadi lebih pemarah. Emosional. Selalu meledak-ledak seperti petasan, dan juga jadi lebih sensitif.

“Maaf. Aku kira Bibi Nam ada di rumah, Eomma.” Renjun menggigit kecil bibir bawahnya. Sadar bahwa sejak awal, Saera tak pernah menyukai kehadirannya. Miris sekali.

Saera mendengus. “Ck, siapa kau berani panggil Eomma? Anakku hanya Seulgi dan Jeno. Jangan berpikir kalau kau boleh memanggilku seperti itu.” Ingin rasanya Saera memberi pelajaran lebih kepada Renjun kini. Namun, ia sangat lelah dan butuh istirahat. Alhasil, setelah kalimat menusuk itu ia lemparkan, ia berjalan melewati Renjun. Sedikit menabrak bahu anak laki-laki itu dengan sedikit kasar.

Selepas kepergian Saera, hela napas panjang Renjun keluarkan. Berusaha membuang sesak yang baru saja memadati ruang dalam parunya.

Ah, ini menyakitkan sekali, pikirnya dalam hati. Mencengkram kuat handle pintu yang hendak ditutupnya.

“Makanya, berhenti bersikap seperti tuan muda, Huang Renjun!”

Pintu baru saja tertutup kala suara yang jauh lebih sinis itu bertepi hingga telinga. Renjun segera membalikkan badan dan sudah menemukan Jeno di hadapannya, berdiri dan bersandar di dinding ruangan. Kedua tangannya tenggelam di balik saku celana. Posisi dan ekspresi penuh keangkuhan.

RENJUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang