Pagi telah tiba. Sinar matahari memaksa masuk ke dalam kamar sang gadis.
"Nala bangun!"
Nisa Bunda Nala berteriak keras dari sebrang pintu. Membuat Nala mau tidak mau harus bangun.
"Hoamm ... iya aku udah bangun kok! Ini mau mandi."
Nisa kembali berteriak, "cepetan ya habis itu sarapan!"
"Iya bunda iya!"
**
Di sisi lain Sai sedang sarapan bersama keluarganya. Hari ini sudah mulai masuk ujian-ujian kelulusan. Yang artinya Sai dan Nala sudah sepuluh tahun berteman. Bohong jika Sai tidak menyukai Nala, si gadis manja sekarang sudah beranjak dewasa tapi semakin dewasa kenapa ia menjadi semakin manja. Kemanjaan itu yang membuat Sai menyukai Nala lebih dari teman dan juga bukan sahabat, tapi cinta. Secara tidak sadar Sai tertawa sendiri membuat kedua orang tuanya berpandangan heran.
"Kenapa kamu ketawa?"
"Eh engg ... gak papa kok ma ...."
"Kayaknya anak mama lagi jatuh cinta ya?"
"Anak papa juga dong ma."
Sai melirik kedua orang tuanya sambil tertawa renyah.
**
Nala sudah selesai sarapan ia sedang memakai sepatunya di depan rumah sambil menunggu Sai. Sai dan Nala memang sering pergi ke sekolah bersama. Sampai mereka di anggap sepasang kekasih oleh sebagian murid lain, padahal hanya teman biasa. Nala pun bingung dengan perasaannya sendiri ia tidak tahu ini perasaan cinta atau hanya kagum.
Sai tidak hanya tampan, tapi ia juga cerdas sampai sering mewakili olimpiade sekolahnya. Sai jika di sekolah termasuk golongan lelaki yang dijadikan panutan, banyak yang menyukainya. Hal itu menambah kesan tersendiri untuk Nala maka dari itu ia menganggap perasaannya ini hanya pengagum saja, itulah yang ia pikirkan, tapi ia tidak suka jika Sai, berdekatan dengan perempuan lain. Memang aneh.
"Nala!"
"Eh iya."
"Ayok. Malah bengong dari tadi gue panggil gak nyahut- nyahut."
"Ehehehe ... Ayok!"
Nala mengikuti langkah Sai menuju motornya.
"Nih!"
Sai memberikan helm pink yang ia beli khusus untuk Nala.
"Pakein ih!"
Sai tertawa gemas. Sudah menjadi kebiasaannya memang memakaikan helm untuk Nala. Tapi ia suka menggoda Nala untuk memakainya sendiri.
"Pake sendiri udah gede,"
"Iih enggak mau. Pakein dong!"
Nala memasang puppy eyes nya membuat Sai semakin gemas.
Sai menarik hidung Nala sebelum memakaikan helmnya.
"Awh!! Hidung gue makin mancung ini mah."
"Dasar manja!"
"Biarin hehehe ...."
"Udah. Ayok naik, nanti telat!"
"Siap pak bos!"
**
Dua puluh menit Sai dan Nala sampai di sekolah. Banyak lalu lalang murid yang lain yang baru sampai sama seperti mereka.
Sai menaruh helmnya di kaca spion hendak meninggalkan Nala, bukan tanpa sebab ia terburu-buru pasalnya pagi ini ia ada piket kelas jika tidak piket maka ia akan mendapat hukuman dari wali kelasnya memang itulah aturannya apalagi Ciko si ketua kelas sangat patuh terhadap aturan.
"Ih Sai!"
Sai berbalik menatap Nala heran. Melihat Sai diam saja tanpa respon membuat Nala greget.
"Helmnya bukain dulu ...."
Sai kembali tertawa gemas, ia melupakan hal itu akibat terburu-buru.
Sai menghampiri Nala dengan langkah ringan lalu membuka helm Nala tidak lupa ia merapihkan kembali tatanan rambut Nala.
"Makin hari makin gemesin aja lo!"
Sai mencubit hidungnya lagi. Membuat Nala merengek kesal.
Bagaimana tidak di katakan sepasang kekasih, jika mereka suka menebar keromantisan di depan umum apalagi di parkiran seperti ini. Banyak yang memandang iri dan juga tidak suka dari banyak siswi lain.
"Ayok."
Sai mengulurkan tangannya, dan di sambut dengan baik oleh Nala.
Sebenarnya Nala bukan termasuk cewek yang populer seantero sekolah. Ia hanya populer di berbagai kegiatan ekstrakurikuler saja.
Jika Sai sering mewakili olimpiade sekolahnya, maka Nala yang mewakili sekolahnya lewat ekstrakurikuler yang ia kuasai.
**
Pelajaran pertama baru saja selesai dan bel istirahat pun berbunyi. Semua murid berhamburan untuk mengisi perut mereka yang sedang keroncongan.
Nala berjalan santai menuju kantin.Bruk!!
"Akh!"
Ada yang mendorong tubuh Nala dengan sengaja di tangga. Untung saja dorongan itu di anak tangga terakhir. Hanya saja lutut Nala sepertinya terlihat memar.
Nala bangun sembari menahan rasa perih dan ngilu di lututnya.
"Lo!"
"Apa?!" Tanya Disa.
Disa dan tiga temannya melabrak Nala untuk kesekian kalinya. Disa sangat terobsesi dengan Sai dan sayangnya Sai tidak mengetahui jika selama ini Nala di perlakukan tidak baik oleh Disa dan teman-temannya. Disa akan berubah drastis menjadi cewek yang sangat baik jika di dekat Sai.
"Makin hari gue liatin lo makin ganjen sama Sai! Make apa lo?! Pelet hah?"
Nala tidak bisa membiarkan ini, ia tidak ingin selalu di ganggu Disa ia ingin hidup tenang. Bahkan Nisa saja tidak pernah membentaknya tapi orang lain berani sekali membentaknya.
Nala tersenyum remeh, "mau apa lo?"
Disa membalas dengan senyuman sinis.
"Mau gue ya? Hmm ... gue mau lo jauhin Sai atau lo bakal dapat akibat yang lebih sadis dari gue!"
"Oke gue bisa aja jauhin Sai. Tapi Sai enggak bisa jauh-jauh dari gue. Paham lo?!"
Disa melihat Sai sedang berjalan menuju ke arah mereka dari arah belakang Nala, sehingga Nala tidak bisa melihatnya. Kesempatan untuk Disa.
"Oke. Gue denger bokap lo meninggal karena bunuh orang ya? Bener gak sih? Berarti lo anaknya pembunuh kan?."
Nala tersulut emosi, ayahnya memang meninggal karena tuduhan itu tapi semuanya tidak lah benar, ayahnya hanya di jebak sehingga ayahnya yang menjadi korban pembunuhan.
"Jaga ucapan lo Disa!"
"Kenapa? Benar kan apa yang gue bilang. Bokap lo itu pembunuh!"
Reflek Nala menampar pipi mulus Disa dengan sangat kencang. Saat itu pula Sai sampai di tempat mereka.
"Nala!"
Nala menoleh ke belakang tepat berdirinya Sai. Disa meringis kesakitan mukanya memelas menahan perih.
"Sai...."
**
Sai menatap tajam Nala, baru pertama kali ia melihat Nala yang manja menampar orang lain.
"Sai sakit."
Disa memulai perannya sebagai orang yang tertindas.
Sai melirik Disa, ia tersenyum lalu menepuk bahu Disa pelan untuk menangkan nya. Lalu melirik Nala.
"Ikut gue!"
**
Kalo mau dpt salam dari author harus vote, komen sama share ya xixixi papay di next part 🥰
KAMU SEDANG MEMBACA
AKHIR PENYESALAN komplit (proses revisi)
KurzgeschichtenTentang rasa cinta yang seharusnya tersampaikan dengan penuh suka cita tapi waktu lebih memilih untuk merenggut rasa cinta itu untuk pergi