Prolog

61 4 0
                                    

"Takdir akan mengubah ruang dan waktu, entah sebagaimana konyol kedengarannya." Ucap peramal itu dengan mata tertutup kain. 

Sementara lelaki di depannya tidak sabar menunggu jawaban. Dia hanya punya waktu dua menit lagi. Putra dari seorang Jenderal Bintang Lima sangat dilarang ke tempat seperti ini. Kalau dilihat oleh salah satu penjaga kerajaan, dia akan diseret dan dilaporkan ke ayahnya.

Peramal itu tiba-tiba bertanya. "Tahun berapa sekarang?"

"1920."

"19,20... 20,21..." Mulut sang peramal berkomat-kamit, mengucap angka-angka tidak jelas.

Dan sesaat kemudian, sang peramal membuka kain penutup mata. Menatap lurus lelaki di hadapannya. "Tahun 2021. Itu jawabannya."

Lelaki itu mengerutkan dahi. Dia masih tidak terima, kurang puas dengan jawabannya. Susah payah dia datang ke tempat ini. Namun bahkan peramal sekalipun tidak memberinya jalan keluar.

"Apa maksudnya tahun 2021?"

"Semua yang datang akan selalu berdampingan. Kau di tahun 1920. Dia di tahun 2021. Gunakan kesempatanmu dengan baik, atau kalian harus menunggu sampai tahun 2122." 

Sudah dijelaskan seperti itu, tetap saja kalimatnya sulit dicerna. "Siapa dia yang kau maksud?" 

"Orang yang akan memberimu jalan keluar." Sang peramal kemudian berdiri, bersiap untuk kembali tidur ke kamarnya. Namun tentu saja lelaki itu merasa ditipu. Dia pun ikut berdiri dan menahan si peramal.

"Yang aku butuhkan adalah tahun sekarang, bukan 2021 atau 2122! Apa yang harus kulakukan untuk lepas dari perjodohan kerajaan?"

"Sudah kubilang dia yang akan membantumu. Bukan kau yang ke sana, melainkan dia yang ke sini. Tunggu saja." Peramal itu melepas genggaman tangan sang putra Jenderal. Lalu membuka kain menuju kamarnya, tapi dia berhenti. 

"Ah ya, biarkan cermin di kamarmu berdebu, jangan dibersihkan. Dan segala hal yang kalian lakukan akan ada konsekuensinya." Itulah kalimat terakhir sang peramal sebelum akhirnya dia pergi menuju kamar. Menutup semua kain dalam ruangan rapat-rapat.

Sementara lelaki itu masih terdiam, mencerna kalimat yang diucapkan si peramal.

Dalam samar, batinnya bertanya.

Dia dari tahun 2021 akan kembali ke masa lalu untuk membantuku?
Itu kah maksudnya?
Dia siapa...?





________

𝟚𝟘𝟚𝟙

"Jadi, itu lah kisah dari cermin berdebu ini. Apa adik-adik ada pertanyaan?" Tanya sang pemandu yang sekarang menghadap ke rombongan pelajar. Kalau aku tentunya tidak minat untuk bertanya. Tapi tidak butuh waktu lama, sudah ada satu pelajar yang mengangkat tangan.

"Kalau orangnya dari tahun 2021, berarti sekarang dong kak?" 

"Betul. Bisa saja di awal bulan, bulan kemarin, atau bahkan detik ini juga." Jawaban kakak pemandu membuat otak kita semua seperti akan meledak. Mindblowing.

Kemudian, pelajar yang berbeda mengangkat tangannya juga. "Kak, apa yang bakal terjadi kalau cerminnya dibersihkan?" 

"Tidak ada yang tahu motif dari sang peramal mengatakan hal itu, tapi yang pasti dia punya alasan. Atau jawaban satu-satunya adalah, dia hanya peramal palsu dan semua omongannya hanya bualan." 

Kalau peramal itu hanya bicara omong kosong, harusnya tidak masalah kan cerminnya dibersihkan? Debu-debu itu sungguh merusak pemandangan. Padahal cerminnya terlihat indah. Di bingkainya juga seperti terukir sebuah kalimat. Sayangnya tidak terbaca karena debu-debu yang menumpuk. 

Aku bahkan mencoba membacanya, tapi tidak terbaca mau sesipit apapun mata kubuat.

"Apakah adik di ujung sana ingin bertanya?" Pertanyaan pemandu itu tertuju padaku. Aku memang dari tadi berdiri di ujung. Aku pun langsung menggeleng. 

"Baiklah, mari adik-adik, kita lanjut ke bingkai foto pernikahan..." Aku tidak begitu memperhatikan kakak pemandu dan rombonganku yang berjalan menjauh. Fokusku masih tertuju pada cermin itu. Tanpa sadar aku sudah berhadapan dengannya.

Aku pikir dengan mendekat, ukirannya bisa terbaca. Tapi ternyata debu-debunya sangat keterlaluan. Bahkan rumahku yang selama ini kuanggap sangat berdebu, tidak separah cermin ini.

Rasa penasaranku mulai berkoar. Tidak apa-apa kan jika aku menghapus sedikit debu di ukiran itu? Mungkin saja semua kisahnya hanya mitos dan cermin ini sebenarnya sedang berteriak minta dibersihkan.

Baiklah. Hanya mengusap sedikit debu untuk membaca ukiran kalimat itu. Setelah itu selesai. Rasa penasaranku akan hilang.

Aku raih ukiran yang ada di bingkai bagian atas cermin, lalu perlahan mengusap debu-debu yang menghalang. Sedikit demi sedikit ukirannya dapat terbaca. 

"Ernest Park.." Tanpa sadar aku bergumam. Huh, ternyata ukiran sebuah nama. Mungkin nama dari pemilik cermin ini dulu? Oh! Jangan-jangan ini nama dari lelaki yang mendatangi si peramal.

Aku menghela napas kecewa. Kupikir kalimatnya akan seperti pesan tersembunyi atau apa. Aku melirik cermin itu untuk yang terakhir kalinya, sebelum akhirnya berniat melangkah pergi dari sana.

Namun sebelum aku berhasil melangkah, ukiran nama itu memancarkan sekilat cahaya. Sinar yang menyilaukan mata, sampai membuat mataku refleks tertutup. Sangat silau sampai saraf mataku terasa pening menjalar ke kepala.

Saat rasa silau perlahan memudar, aku kembali membuka mataku. 

Di hadapanku masih terdapat cermin yang sama, namun tampilannya berbeda. Bukankah beberapa detik yang lalu masih penuh debu? Kenapa sekarang debunya seakan terangkat sembilan puluh persen?

Karena sudah merasa janggal, aku memutuskan untuk menyusul rombongan. Tapi saat aku menoleh ke belakang, semuanya berbeda. Tidak ada papan petunjuk museum, tidak ada satpam-satpam yang menjaga museum, dan bahkan rombonganku sudah hilang entah kemana. Padahal mereka belum jauh tadi.

"Sudah kubilang jangan dibersihkan." Suara laki-laki membuatku menoleh ke arahnya. Dia berjalan memasuki ruangan dan menutup pintu. 

"Cukup membersihkan kamarku, kau boleh keluar." Ucapnya, lalu berbalik badan dan duduk di kasur.

Sedangkan aku masih membatu di tempat. Apa-apaan ini? 

Tunggu... apa yang terjadi?

Laki-laki itu menyadari diriku yang tidak merespon. Dia menoleh lagi menatapku. "Pelayan? Kau boleh keluar sekarang, aku mau istirahat."

.... Pelayan?

Aku tidak salah dengar kan?

PELAYAN?! APA MAKSUDNYA?!

Karena aku terlalu larut dalam pikiranku lagi, dia bangun dari kasur dan menghampiriku. Aku pun mendongak menatapnya.

"Hey? Apa kau mendengarku?" Tanya dia sambil menatapku khawatir.

Aku pun mencoba bersuara. "Uh..." Ternyata aku bisa bicara.

"Pelayan?" Aku bertanya. Heran kenapa aku disebut sebagai pelayan.

Dia memiringkan kepalanya bingung. Namun detik berikutnya dia menghela napas. "Aku tidak tahu ada apa denganmu, tapi tolong keluar lah. Aku sangat lelah."

Dia mengarahkan tangan ke pintu keluar. Itu adalah pintu saat aku dan rombonganku masuk ke ruangan cermin berdebu.

Otakku mulai memproses semuanya. Tidak mungkin...

Sepertinya aku sedang berhalu. Ini pasti karena terlalu sering melamun. Aku menepuk pipiku sendiri, berharap akan bangun dari halusinasi yang terlalu nyata ini.

TAPI AKU MASIH DI TEMPAT YANG SAMA.

INI BUKAN HALUSINASI.

Aku kembali menatap laki-laki itu dengan panik. "Tahun berapa sekarang?"

Dia menatapku aneh, namun tidak butuh lama untuk dia menjawab. Mengatakan jawaban yang kuharap tidak kudengar.

"1920."

🍂🍂🍂

To: 1920Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang