7 - Tempat Rahasia

34 3 0
                                    

𝔸𝕜𝕦 𝕓𝕖𝕟𝕔𝕚 𝕥𝕒𝕜𝕕𝕚𝕣
𝕐𝕒𝕟𝕘 𝕥𝕖𝕝𝕒𝕙 𝕞𝕖𝕞𝕡𝕖𝕣𝕥𝕖𝕞𝕦𝕜𝕒𝕟
𝕃𝕒𝕝𝕦 𝕕𝕚 𝕒𝕜𝕙𝕚𝕣 𝕞𝕖𝕞𝕚𝕤𝕒𝕙𝕜𝕒𝕟

________



Sekitar lima belas menit perjalanan, kami akhirnya sampai di tempat tujuan. Pantai. 

Harum garam laut menyeruak memasuki penciumanku. Suara ombak dan angin yang berpadu membuat telingaku serasa terlahir kembali. Cahaya oranye matahari yang hangat, mulai terganti dengan aura biru sang bulan. Bintang-bintang perlahan bermunculan, menghias langit malam yang dingin.

Segar rasanya. 

Aku dan Ernest berjalan mendekati tepi laut, menghadap bulan yang kian jelas wujudnya. Tidak ada yang bicara. Hanya berdampingan dan mendongak ke atas langit, sambil sesekali melirik ombak. Kesunyian ini terlalu nyaman untuk dihancurkan.

Lucu sekali. Pada tahun 2021, minggu depan harusnya aku pergi ke luar kota. Ada undangan pernikahan dari saudara jauh dan letaknya pun di pantai. Dari jauh-jauh hari aku sudah menantikan saat itu. Betapa rindunya aku dengan tempat buatan alam ini.

Namun sekarang aku menghilang dari mereka. Keluargaku pasti sedang mencariku. Mungkin juga, rencana ke luar kota akan digagalkan oleh ayahku karena aku menghilang secara misterius.

Ah, lagi-lagi aku kembali sendu. Aku tak pandai berbohong dengan ekspresi. Bahkan tiap kali aku menangis diam-diam di kamar, entah dari mana ibuku datang dan aku ketahuan. Tidak peduli seberapa keras aku berbohong bahwa aku tidak apa-apa, ibu akan selalu bertanya dan membuat tangisku semakin kencang.

Dan kini Ernest yang menangkap ekspresi sedihku.

"Ada apa?" Dia bertanya, persis seperti ibu. Aku menggeleng, berusaha memalsukan ekspresi.

Aku tidak mau semakin ketahuan. Jadi aku mengambil beberapa langkah lebih maju. Supaya Ernest tidak dapat melihat wajahku. Aku yakin kalian mengerti, kalau lagi menahan tangis dan ditanya, pasti pertahanan langsung runtuh. Sungguh, aku benci dengan hal itu.

Kupikir Ernest hanya akan diam. Ternyata dia mengikuti langkahku dan berdiri di hadapanku. Menghalang pemandangan sang bulan, karena dia jauh lebih tinggi dariku.

Aku tidak mendongak menatapnya, tapi melirik ke arah kanan. Berusaha memalingkan pandangan. Lagi-lagi, Ernest tidak membiarkanku lolos begitu saja. Dia memiringkan kepala, mengikuti kemana pun mataku bergerak. Alhasil, aku menyerah dan menatap mata Ernest.

"Kau menghalangi bulannya, tahu?" Ucapku dengan wajah ditekuk.

Namun, Ernest tak kunjung pergi dari hadapanku. Dia justru merentangkan tangan dan tatapannya melembut. Berbeda dari sebelumnya.

"Jangan biarkan bulan melihat air matamu. Dia sudah menanggung seluruh samudra." Dengan indah dan menyakitkan di saat yang bersamaan, kalimat itu terucap dari mulut Ernest. Hatiku tertusuk mendengarnya.

Masih dengan posisi merentangkan tangan, Ernest bicara lagi. "Sini, buruan. Tanganku sudah mulai pegal."

Diriku yang masih linglung, hanya menatap tidak bergerak. Bagaimana kalau ada mata-mata atau praju---

GREB

Ernest menarikku. Detik berikutnya aku sudah berada dalam dekapannya. Dia bahkan tidak membiarkan kalimat di benakku selesai. 

"Ini tempat rahasiaku. Kau aman." 

Aku yang sebelumnya menegang, perlahan menjatuhkan diriku seutuhnya ke dalam pelukan Ernest. Tidak, aku tidak menangis. Aku tidak akan membiarkan Ernest atau siapapun melihatku menangis. Cukup ibuku saja. 

To: 1920Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang