1 - Ernest Park

39 4 0
                                    


𝓐𝓴𝓾 𝓽𝓲𝓭𝓪𝓴 𝓫𝓾𝓽𝓾𝓱 𝓴𝓲𝓼𝓪𝓱 𝓴𝓲𝓽𝓪 𝓽𝓮𝓻𝓾𝓴𝓲𝓻 𝓭𝓪𝓵𝓪𝓶 𝓼𝓮𝓳𝓪𝓻𝓪𝓱, 𝓴𝓪𝓵𝓪𝓾 𝓹𝓪𝓭𝓪 𝓪𝓴𝓱𝓲𝓻𝓷𝔂𝓪 𝓶𝓮𝓷𝔂𝓪𝓴𝓲𝓽𝓴𝓪𝓷.

________

____

__



"1920."


Tidak. Ini pasti sebuah prank yang dibuat oleh museum, kan? Mataku menelusuri ruangan, mencari-cari keberadaan kamera tersembunyi yang digunakan untuk merekam reaksiku. 

Tapi tidak ada. 

Aku menatap laki-laki itu. "Ini hidden camera, kan? Sudahi semuanya, kalian sudah ketahuan." Aku berkacak pinggang dan menangkap ekspresi aneh darinya.

"Apa itu hidden camera?"

"Kau sungguh tidak tahu? Yang sering dilakukan para youtubers, loh. Kau pasti sedang bekerja sama dengan tim museum untuk mengerjaiku, kan? Apa-apaan tahun 1920... Bahkan orang tuaku saja belum lahir saat itu."

Ekspresinya terlihat jelas bahwa dia berpikir keras untuk mengerti apa maksud kalimatku. Namun detik berikutnya dia menghela napas. "Tolong keluar."

Aku masih diam di tempat. Namun dia langsung menarik lenganku dan berusaha mengusirku menuju pintu keluar. Tentunya aku memberontak. Tapi pikir saja, gadis generasi micin sepertiku yang kerjanya rebahan, mana mungkin menang dari lelaki ini? 

Dan tiba-tiba aku terpikir akan sesuatu.

"Ernest!"  Kusahut nama itu. Benar saja, dia langsung menajamkan tatapannya.

"Park..." Lanjutku. Aku menyebut nama yang diukir pada bingkai cermin berdebu. Entah apa yang mendorongku melakukan itu. Tapi perasaaanku mengatakan bahwa laki-laki di hadapaanku adalah Ernest Park, pemilik cermin.

Tunggu. Kalau benar lelaki ini Ernest Park, itu artinya aku sungguh berada di tahun 1920? Hell no---

"Beraninya kau seorang pelayan, menyebut nama lengkapku?" Wajahnya tidak sedamai tadi lagi. Sekarang dia terlihat marah. Mati aku.

Aku refleks mundur, mencoba menjelaskan situasi aneh ini dengan harapan dia akan mengerti. "Tunggu--- jangan salah paham. Aku juga tidak tahu kenapa bisa di sini. Sepertinya aku tanpa sengaja melakukan perjalanan waktu!" 

Wajahnya yang emosi, berangsur-angsur kembali netral. Jadi, aku menyimpulkan kalau dia mulai sadar apa yang sedang aku bahas. Aku pun menjelaskan keadaan lebih lanjut kepadanya.

"Kau.. mengerti kan? Kau sendiri yang pergi ke peramal itu dan meminta bantuan untuk membatalkan semacam... perjodohan? Lalu peramal itu bilang kalau---"

"--dia akan datang dari tahun 2021." Potongnya.

Aku mengangguk senang karena akhirnya dia mengerti apa maksudku. Kalau tidak, bisa-bisa pelayan sepertiku dihukum mati oleh putra Jenderal Bintang Lima sepertinya.

"Kau adalah dia? Orang yang datang dari tahun 2021 untuk membantuku?" Dia bertanya penuh harapan. Sementara aku hanya menatapnya putus asa.

Kenapa putus asa, kalian tanya? Karena keseluruhan percakapan kami membuatku sadar. Aku adalah orang itu. Orang yang diramalkan sang peramal akan datang ke masa lalu. Jadi sekarang bukanlah prank? Aku... benar-benar berada di tahun 1920? 

Satu yang muncul di benakku. "Aku harus kembali."

"Apa?" Dia bertanya dengan heran. Tapi aku mengabaikannya.

Aku melepas lenganku dari cengkraman lelaki itu dan menghadap kembali ke cermin. Berharap sebentar lagi, ukiran nama itu akan memancarkan sekilat cahaya yang menyilaukan. Lalu membuat mataku refleks tertutup lagi dan saat membuka mata aku akan kembali di tahun 2021.

Karena cahaya yang kuharapkan tidak muncul juga, aku menutup mataku. Menghitung dalam batin satu sampai tiga.


1... 


2...


3...


Tidak ada perubahan. Telah kubuka mataku, namun yang kulihat tetap cermin yang sama dengan refleksi Ernest Park memandangku heran.

"Mati aku..." Aku bergumam yang tentunya dapat didengar oleh Ernest Park, karena ruangan begitu sunyi.

"Kau sungguh orang yang datang dari 2021?" Dia mendekatiku dan bertanya kembali.

Aku tidak ingin mengakuinya tapi tidak ada yang lebih masuk akal selain pernyataan itu. Jadi aku mengangguk dengan pasrah. Berbeda dengan ekspresiku yang murung, ekspresinya justru langsung menjadi cerah. Senyumnya mengembang lebar sambil menatapku, seakan aku adalah penyelamat hidupnya.

Padahal aku sendiri tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku hanya ingin kembali ke tahun 2021. Aku ingin pulang. Bagaimana kalau yang lainnya sedang panik mencariku? Orang tuaku juga pasti sangat khawatir kalau tahu putrinya menghilang. Mereka akan berpikir aku diculik atau dibunuh, yang nyatanya aku terlempar ke masa lalu.

Ini tidak bisa dibiarkan

"Aku ingin bertemu peramal itu." Tanpa basa-basi langsung kukatakan kepadanya.

"Tidak bisa, aku bisa dihukum jika ketahuan ke tempat itu lagi." Jadi dia sudah ketahuan?

"Kalau begitu beritahu aku jalan menuju  ke sana." Ucapku pantang menyerah. Membuat ekspresi heran kembali terlukis di wajahnya.

"Kenapa kau begitu ingin menemui sang peramal?"

"Aku ingin dia mengirimku balik ke tahun 2021." Kalimat ini adalah kalimat terbodoh yang aku ucapkan kepadanya. Karena sesaat setelah itu, wajahnya berubah dingin dan menyudutkan diriku.

"Kau datang ke sini untuk membantuku. Sekarang kau malah ingin kembali tanpa melakukan apa-apa?" Intonasi suaranya terlalu mendominasi, membuatku mati gaya dan tidak bisa menjawab apapun.

Tapi ini kan bukan salahku!

"Aku tidak meminta dikirim ke masa lalu. Dan aku hanya sekedar pelajar yang bahkan kesulitan menyelesaikan masalahnya sendiri. Kau pikir aku mampu memberimu jalan keluar?" Jawabku tidak mau kalah. 

"Tidak. Aku yakin peramal itu benar. Kau pasti adalah jalan keluarku, entah bagaimana caranya nanti. Takdir membuatmu datang ke masa lalu pastinya untuk membantuku. Kau terkirim ke sini bukan tanpa alasan."

Jawabannya masuk akal. Aku menunduk karena tidak bisa melawannya lagi. Tadinya aku berharap, bahwa kedatanganku ke masa lalu adalah sebuah kesalahan teknis. Mungkin saja bukan aku, tapi orang lain yang harusnya datang ke sini. Tapi sekarang semua harapan itu buyar. Mana ada yang namanya kesalahan teknis dalam takdir?

Dia tiba-tiba memegang bahuku. Membuat manik mataku kembali menatapanya.

"Bantu aku gagalkan perjodohan, dan aku akan membantumu kembali ke masa depan."



__

____

________









To: 1920Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang