2 - Tahap Awal Mengenalnya

37 3 0
                                    

𝓣𝓲𝓭𝓪𝓴 𝓪𝓭𝓪 𝔂𝓪𝓷𝓰 𝓴𝓮𝓴𝓪𝓵 𝓭𝓲 𝓼𝓮𝓶𝓮𝓼𝓽𝓪, 𝓽𝓮𝓻𝓶𝓪𝓼𝓾𝓴 𝓭𝓲𝓻𝓲𝓶𝓾.

________

____

__



Suara hujan deras disertai gemuruh menguasai ruang. Aku hanya terduduk di depan jendela, mengamati fenomena alam yang tak jarang. Mataku mengamati hujan, namun hatiku sedang di tempat lain. Bahkan teh yang dibuatkan Ernest Park untukku, sudah dingin. Belum kusentuh sama sekali.

Aku sedang dalam kondisi dimana rasa lapar dan haus terhapus dari kamusku.

Sementara sejak tadi, Ernest Park duduk di hadapanku. Memandangi diriku yang sedang menatap ke luar jendela. Sudah terhitung delapan kali dia mendorong cangkir teh, agar aku segera meminumnya. Tapi yang kulakukan adalah mendorongnya kembali. 

Benar-benar tidak mood.

Sekarang, dia membuka pembicaraan. Aku mendengarnya tanpa menoleh.

"Awalnya aku juga tidak mempercayai peramal itu. Kupikir dia menipuku." Kalimatnya berhenti sampai di sana. Dia pun ikut memandangi hujan.

Lalu melanjutkan kalimatnya lagi. "Tapi firasatku mengatakan bahwa aku harus mendengarnya. Membiarkan cermin itu berdebu. Aku memerintah para pelayan yang membereskan kamarku, untuk tidak membersihkan cermin itu."

Ahh... pantas saja tadi dia memerintahku untuk tidak membersihkan cerminnya. Dia pikir aku adalah seorang pelayan. Padahal aku baru saja datang dari masa depan.

"Berarti aku bukan pelayan, kan?" Tanyaku, dengan pandangan masih tertuju ke luar jendela. Dari ujung mata, aku melihatnya mengangguk.

Bagus. Setidaknya peranku bukan seorang pelayan. Tapi kenapa dia mengira aku adalah seorang pelayan? Aku langsung menoleh, melempar tatapan kepadanya. Dia sepertinya sudah tahu apa yang ingin aku bahas.

"Lalu artinya, penampilanku mirip seperti pelayan?" 

Dia menggeleng cepat. "Pada awalnya aku juga heran, 'sejak kapan ada model pakaian seperti itu, dan sejak kapan pelayan tidak menggunakan seragam biasa?' Tapi aku tidak begitu peduli karena ingin buru-buru istirahat. Jadi, aku langsung menyimpulkan bahwa kau adalah pelayan. Maaf."

Aku mengangguk samar atas penjelasannya. Sedangkan dia kembali mendorong cangkir teh kepadaku. "Benar tidak mau diminum? Aku membuatkannya sendiri, loh." 

Jadi dia bernegoisasi kepadaku nih? Agar aku meminum teh buatannya?

Dibuatkan teh oleh putra Jenderal Bintang Lima memang merupakan sebuah kehormatan, sih. Aku pun menghela napas, merasa kalah karena akhirnya pertahananku untuk tidak minum runtuh. Walau tidak melihat, aku bisa merasakan Ernest Park tersenyum karena berhasil membujukku untuk meminum teh buatannya.

Saat seteguk teh masuk ke mulutku, langsung terasa sensasi dingin. 

"Kalau masih hangat, rasanya pasti lebih nyaman." Ucapnya. Aku tidak merespon kalimat itu. Hanya lanjut meminum teh.

"Apa kau sudah menerima kenyataan?" Pertanyaan tersebut membuatku refleks meliriknya. Aku mengerti arti dari pertanyaan itu. Hanya saja aku masih tidak terima, bahwa aku tidak bisa kembali ke tahun 2021. 

Bayangkan saja, tidak ada angin maupun hujan tiba-tiba aku harus hidup di tahun 1920. Segala-galanya serba beda. Siapa anak generasi micin yang dapat menerima ini dengan mudah? Apalagi aku, yang hobinya menonton televisi dan memutar MV K-POP group favoritku. Mana bisa dilakukan di tahun 1920? Mereka semua belum lahir.

Sadar akan diriku yang melamun lagi, Ernest Park mengambil cangkir teh dari tanganku. "Kalau begitu, aku akan membantumu beradaptasi di tahun 1920 ini. Dimulai dari nama. Siapa namamu?" Dia tersenyum. 

Aku baru sadar, bahwa senyumnya terlihat sederhana tapi manis. Membuat siapapun candu melihatnya. Matanya juga terlihat tulus.

Tidak ingin larut dalam pikiran terlalu dalam lagi, aku langsung menjawab. "Ana."

Bohong. Itu adalah sebuah kebohongan. Ana bukanlah nama asliku, melainkan nama penaku di tahun 2021, yang aku gunakan untuk segala jenis pembuatan akun media sosial.

Alasanku berbohong, adalah karena aku takut akan ada konsekuensi jika orang-orang di masa lalu mengetahui identitas asliku. Secara... aku bisa dibilang sebagai 'time traveller'. Bukankah kaum seperti mereka selalu merahasiakan identitas?

Tidak tahu pasti, sih. Aku hanya berjaga-jaga saja. Ernest Park juga tidak harus tahu nama asliku. Tidak penting, kan?

"Kalau begitu panggil aku Ernest. Bukan Ernest Park. Harus sekali kau menyebut margaku juga?"

Ups. Aku tertangkap basah. "Yah.. soalnya aku melihat nama lengkapmu diukir di bingkai cermin. Jadi aku keterusan memanggilmu dengan nama lengkap."

Detik berikutnya dia terkekeh. Aku hanya menatap dengan heran, memang apa yang lucu?

"Di tahun ini, memanggil nama dengan lengkap merupakan suatu kelancangan. Apalagi posisinya tidak ada hubungan darah." Kalimat itu membuatku membulatkan mata.

"Tolong jangan memberiku hukuman eksekusi, aku minta maaf!" Aku menyatukan kedua telapan tangan sambil menatapnya. Sedangkan dia tertawa semakin besar.

Tawanya benar-benar menular, sampai tak sadar aku sendiri sudah tersenyum tipis. 

"Aku tidak sejahat itu, apalagi mengetahui bahwa kau orang yang akan menjadi jalan keluarku." Ernest kembali memberiku cangkir tadi yang masih tersisa sedikit teh. 

"Habiskan ini, dan kita akan keluar."

"Huh? Ke mana?"

"Lihat saja nanti."



__

____

________

To: 1920Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang